Selasa, 04 Januari 2011

Dewi Kumandang (Asal Mula Gema)

Pada jaman dahulu kahyangan adalah tempat dimana para bidadari yang berparas jelita dan dewa-dewa tinggal. Adalah seorang bidadari yang memiliki wajah paling jelita bernama Dewi Kumandang. Sesuai namanya, selain cantik, Dewi kumandang pun bersuara merdu mendayu. Meski banyak bidadari lain yang iri akan kecantikannya, namun banyak pula bidadari yang akrab dengannya. Itu karena Dewi Kumandang tidak pernah sombong dengan kelebihannya dan selalu ramah pada siapapun.
Salah satu bidadari yang membencinya adalah istri Betara Guru yang merupakan raja para bidadari dan dewa-dewa. Pasalnya Betara Guru terlihat jelas sangat menyukai Dewi Kumandang. Setiap hari selama berjam-jam betara Guru menghabiskan waktunya di taman sari hanya untuk mendengar dan melihat Dewi Kumandang menyanyi dan menari bersama teman-temannya.
Tidak hanya betara Guru yang tertarik pada Dewi Kumandang. Dewa-dewa lain pun telah banyak yang menawarkan cintanya, namun selalu ditolak dengan halus olehnya. “Saya masih belum mengerti masalah cinta,” katanya selalu. “Saya masih ingin menghabiskan waktu bersama teman-teman tanpa beban.”
Namun isti betara Guru tidak percaya akan keluguan Dewi Kumandang. Menurutnya Dewi Kumandang hanya berpura-pura lugu untuk menarik hati para peminatnya. Hari ke hari bencinya kepada Dewi Kumandang semakin besar, hingga timbullah niat jahat di hatinya. “Akan kucelakakan dia,” batinnya.
Berbagai cara dilakukan untuk mencelakankan Dewi Kumandang, namun usahanya selalu gagal karena Dewi Kumandang selalu ditolong oleh teman-temannya. Hingga ssuatu hari saat Dewi Kumandang sedang mandi di telaga sendirian, istri betara Guru menghampirinya.
“Hai Dewi Kumandang! Kau bidadari rendahan! Bisamu hanya menggoda suami orang lain,” katanya.
“Wahai betari, ada apa gerangan paduka memarahiku? Apa kesalahanku?” tanya Dewi Kumandang.
“Ah, jangan pura-pura lugu. Bukankah kau sengaja menggoda para dewa dengan kecantikan dan suaramu? Hingga suamiku tergila-gila olehmu!” bentaknya. “Aku tidak akan menghabiskan energiku dengan bertengkar denganmu. Dewi kumandang, aku tidak suka suaramu yang menggoda itu, maka sejak saat ini, aku mengutukmu! Kau tidak akan lagi bisa berbicara apalagi bernyanyi. Kau hanya bisa menirukan satu patah kata terakhir yang terdengar di telingamu!”
Petir menggelegar selepas istri betara Guru melepaskan kutukannya. Dewi Kumandang ingin berteriak membela dirinya, namun tidak ada suara yang terdengar dari bibirnya. Tahulah ia bahwa kutukan itu sudah terjadi. Dewi Kumandang sangat bersedih, namun apa daya istri betara Guru adalah bidadari yang sangat sakti. Tidak ada yang bisa menolongnya mencabut kutukan tersebut.
Sejak saat itu Dewi Kumandang selalu bersembunyi. Dia malu dan takut dengan keadaannya. Akhirnya suatu malam Dewi Kumandang meninggalkan kahyangan dan turun ke bumi. Di bumi Dewi kumandang bersembunyi di sebuah gunung yang terjal. Dia pikir tidak akan ada yang datang ke tempat seperti itu. Namun suatu pagi dia menemukan seorang pemuda yang sangat tampan tergeletak pingsan di dasar jurang. Karena kasihan Dewi Kumandang menolongnya hingga pemuda itu siuman. Pemuda itu terkejut melihat seorang gadis yang sangat cantik di hadapannya.
“Hai, siapakah kau?” tanya pemuda.
Pemuda itu heran karena gadis itu bukannya menjawab malah menutup mulutnya erat-erat.
“Jangan takut!” kata pemuda. “Aku hanya ingin berterima kasih.”
Dewi Kumandang yang takut menirukan suara si pemuda, lari meninggalkan si pemuda yang terkejut melihat tingkahnya. Dengan susah payah pemuda itu berusaha mengejar Dewi kumandang.
“Tunggu!” kata pemuda.
“Tungguuuu…..” sahut Dewi Kumandang menirukan suara pemuda itu.
“Tunggu Dewi!”
“Dewiiii….” sahutnya.
Dewi Kumandang berlari semakin cepat hingga pemuda itu tidak bisa mengejarnya. Sejak saat itu Dewi Kumandang tidak pernah menampakkan diri. Kita hanya tahu keberadaannya kalau kita berteriak di pegunungan. Jika teriakan kita ada yang meniru atau berkumandang, artinya di sanalah Dewi Kumandang berada.
(SELESAI)

Meng Jiangnu

Pada suatu masa, keluarga Meng dan keluarga Jing hidup rukun berdampimgan, di wilayah Badaling. Walaupun hidup sederhana, mereka merasa berbahagia. Sayang sekali, kedua keluarga ini tidak dikaruniai anak.
Saat musim semi tiba, keluarga Meng menanam biji labu di halaman depan rumahnya. Labu itu tumbuh dengan subur, hingga melewati tembok pemisah rumah, dan memasuki pekarangan rumah keluarga Jiang.
Keluarga Jiang sangat mengagumi buah labu yang besar dan ranum itu. Maka keluarga Meng memutuskan untuk membagi dua labu tersebut.
Sungguh ajaib, ketika labu tersebut dibelah, ternyata di dalamnya ada seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Kulitnya putih tanpa cela, pipinya ranum seperti apel, dan rambutnya hitam bercahaya. Cantik sekali!
Kedua keluarga itu sangat gembira mendapat keajaiban tersebut. Mereka berjanji akan merawat bayi tersebut bersama-sama. Maka bayi tersebut diberi nama Meng Jiangnu.
Meng Jiangnu tumbuh besar dengan curahan kasih sayang dari kedua keluarga tersebut. Tidak heran jika Meng Jiangnu kemudian menjadi gadis yang sangat cantik dan cerdas.
Sementara itu, kaisar yang berkuasa saat itu, kaisar Qin Shihuang, sedang membangun tembok cina . Tembok yang juga berfungsi sebagai benteng itu terbentang dari propinsi Gansu sampai Pantai Pasifik. Banyak warga yang dipaksa berkerja rodi untuk pembangunannya. Mereka dipaksa bekerja siang dan malam, tanpa diberi makan dan seringkali dicambuki oleh para penjaga yang kejam. Maka banyak penduduk yang mati kelaparan dan kecapaian.
Salah seorang pekerja itu bernama Fan Xiliang. Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan. Suatu malam Fan Xiliang melarikan diri karena sudah tak tahan lagi bekerja rodi. Dia berlari sekuat tenaga. Hingga tibalah dia di pekarangan sebuah rumah. Fan Xiliang lalu bersembunyi di balik rimbunan bunga.
Pagi itu Meng Jiangnu hendak menyiram bunga di pekarangan. Fan Xiliang terpana melihat kecantikan Meng Jiangnu. Tak sengaja kakinya menginjak sebatang ranting kering hingga menimbulkan bunyi yang keras dan mengagetkan Meng Jiangnu. Melihat ada lelaki yang tidak dikenalnya, refleks Meng Jiangnu berteriak meminta tolong. Fan Xiliang yang ketakutan memohon agar Meng Jiangnu menghentikan teriakannya. Dia lalu menceritakan apa yang telah terjadi. Meng Jiangnu merasa kasihan mendengarnya. Maka dia membawanya menghadap orang tuanya. Kedua keluarga itu juga merasa kasihan atas nasib Fan Xiliang sehingga mengijinkannya untuk sementara tinggal hingga keadaan aman.
Meng Jiangnu dan Fan Xiliang kemudian menjadi akrab. Hingga mereka saling jatuh cinta. Kedua keluarga Meng Jiangnu sangat senang melihat kedua sejoli itu saling menyukai. Keempatnya setuju untuk menikahkan anak kesayangan mereka dengan Fan Xiliang. Dan ternyata keputusan ini juga disambut gembira oleh Meng Jiangnu dan Fan Xiliang. Akhirnya, pasangan ini pun menikah dan hidup bahagia.
Di rumah keluarga Meng ada seorang pembantu bernama Liu Qi yang diam-diam menyukai Meng Jiangnu. Tidak heran jika dia membenci Fan Xiliang dan bermaksud memisahkannya dengan Meng Jiangnu. Diam-diam dia melaporkan keberadaan Fan Xiliang kepada penjaga tembok Cina. Segera saja serombongan penjaga menangkap Fan Xiliang dan memaksanya kemabli ke tempat pembagunan tembok Cina.
Betapa sedihnya Meng Jiangnu melihat suaminya ditangkap dan dibawa pergi. Dia menangis dan memohon kepada penjaga tersebut untuk melepaskan suaminya, namun penjaga itu malah membentaknya. Akhirnya Meng Jiangnu hanya bisa meratap.
Setelah beberapa minggu Meng Jiangnu sudah tidak bisa membendung kerinduannya pada suami yang dicintainya. Maka dia memutuskan untuk pergi mencari suaminya. Orang tuanya tidak bisa mencegah keinginan putrinya. Dengan terpaksa mereka mengijinkan Meng Jiangnu pergi dengan ditemani Liu Qi.
Di tengah perjalanan Liu Qi berusaha membujuk dan merayu Meng Jiangnu untuk mau menikah dengannya dan melupakan suaminya. Tahulah Meng Jiangnu bahwa Liu Qi lah yang telah melaporkan suaminya kepada para penjaga. Meng Jiangnu sangat marah kepada Liu Qi namun dia berpura-pura setuju untuk menikah dengannya.
"Baiklah aku akan menikah denganmu. Tapi aku punya satu syarat. Aku ingin kau memetik bunga liar itu sebagai tanda cintamu padaku," kata Meng Jiangnu sambil menunjuk sekuntum bunga di pinggir jurang.
Liu Qi senang sekali mendengarnya. Dengan segera dia pergi ke pinggir jurang dan berusaha meraih bunga tersebut. Sayang sekali bunga tersebut tumbuh di tempat yang sulit dijangkau. Dan karena tidak berhati-hati, Liu Qi terpeleset dan jatuh ke dalam jurang. Akhirnya Liu Qi yang culas itu pun mati terhempas di dasar jurang.
Meng Jiangnu kembali melanjutkan perjalanannya hingga sampailah dia di tembok Cina. Kepada para pekerja dia menanyakan keberadaan suaminya. Namun mereka tidak mengenalnya. Tapi ketika Meng Jiangnu hampir putus asa, ada seorang pekerja yang pernah bertemu Fan Xiliang. Pekerja itu mengabarkan bahwa Fan Xiliang telah dihukum mati dan dia tidak tahu dimana Fan Xiliang dikuburkan.
Meng Jiangnu sedih sekali mendengar kabar tersebut. Dia menangis sepanjang malam berharap Tuhan menunjukan dimana jasad suaminya. Tiba-tiba petir menyambar tembok Cina hingga terbelah. Dan di balik reruntuhan itu tampak mayat-mayat yang sudah jadi tengkorak berserakan.
Meng Jiangnu mengerti bahwa Tuhan telah mengabulkan doanya. Suaminya pastilah salah satu dari mayat-mayat itu. Namun Meng Jiangnu tidak tahu yang manakah mayat suaminya. Maka ia menggigit telunjuknya hingga berdarah dan meneteskannya ke tanah. Dia berdoa semoga Tuhan mau menunjukan yang mana mayat suaminya.
Ajaib, darah Mng Jiangnu mengalir menuju mayat Fan Xiliang. Dengan persaan sedih Meng Jiangnu mengumpulkan kerangka suami yang dikasihinya. Sayang sebelum Meng Jiangnu berhasil membawanya, serombongan pengawal Kaisar Qin Shihuang memergokinya dan membawanya ke hadapan kaisar. Kaisar sangat tertarik melihat kecantikan Meng Jiangnu dan bermaksud memperisterinya. Meng Jiangnu menolak dengan tegas hingga ia pun dijebloskan ke penjara.
Meng Jiangnu terus memikirkan mayat suaminya yang belum dikuburkan. Tiba-tiba terlintas di pikirannya, sebuah ide. Maka dia memohon pengawal memperbolehkannya menghadap kaisar. Meng Jiangnu berpura-pura bersedia menikah dengan kaisar jika kaisar mau mengabulkan tiga permohonannya.
"Baiklah, katakan!" kata kaisar.
"Pertama saya ingin mengundang 49 biksu untuk membacakan doa bagi mendiang suami saya selama 49 hari," kata Meng Jiangnu.
"Kedua, aku minta mayat suamiku dikuburkan secara layak dan paduka harus mengenakan pakaian berkabung, juga harus berlutut di depannya."
"Dan yang terakhir, sebelum menikah aku ingin padaku menemaniku bertamasya selama tiga hari."
Muka kaisar memerah mendengar permintaan Meng Jiangnu tersebut. Namun karena sudah berjanji maka dengan terpaksa kaisar menyetujuinya.
Setelah acara penguburan selesai, kaisar menemani Meng Jiangnu bertamasya. Di hari terakhir, Meng Jiangnu meminta kaisar menemaninya melihat pemandangan dari atas tembok Cina. Namun ketika mereka telah sampai di atas tembok Cina, tiba-tiba Meng Jiangnu berseru:"Fan Xiliang tunggulah, aku menyusulmu!" dan tanpa sempat dicegah melompat terjun dari atas tembok dan terhempas ke tanah hingga tewas.
Kaisar Qin Shihuang tertegun melihat kejadian itu dan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menguburkan mayat Meng Jiangnu bersama suaminya Fan Xiliang.
(SELESAI)

Tujuh Gadis yang Cemburu

Alkisah ada seorang gadis yang sangat cantik di desa Ibibio, Afrika, bernama Akim yang artinya musim semi yang cantik. Kecantikannya membuat iri gadis-gadis lain yang mengenalnya. Terlebih lagi Akim juga memiliki bentuk tubuh yang semampai, dan juga memiliki pembawaan diri yang sangat luwes, yang membuat setiap pria yang melihatnya akan lupa diri. Kedua orangtuanya sangat menyayanginya, bahkan terlalu melindunginya. Mereka bahkan melarang anak satu-satunya ini bergaul dengan gadis-gadis lainnya. Untunglah Akim gadis yang penurut. Meskipun ia sangat ingin pergi bermain bersama gadis-gadis lain sebayanya, namun ia tetap dengan rajin dan senang hati membantu pekerjaan orang tuanya.
Suatu hari saat ia sedang mengambil air di mata air, ia berjumpa dengan 7 orang gadis sebayanya yang hendak pergi menonton pertunjukan di desa sebelah.
“Hai Akim, ikutlah bersama kami. Kita akan bersenang-senang dan berkumpul dengan anak muda lainnya di desa sebelah,” kata salah seorang dari mereka.
“Oh, aku ingin sekali ikut bersama kalian. Tapi maafkan aku! Aku tidak bisa karena masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan,” kata Akim sambil memperlihatkan tempayan-tempayan kosong yang harus diisinya.
Ketujuh gadis itu sebenarnya merasa iri dengan kecantikan Akim. Mereka sering berkumpul hanya untuk menceritakan kebencian mereka kepada Akim. Peristiwa kemarin semakin menambah ketidaksukaan mereka. Mereka mencari ide untuk memberi pelajaran kepada Akim. Akhirnya mereka sepakat untuk datang ke rumah Akim setiap hari dan membantunya bekerja, dengan demikian Akim akan menganggap mereka sahabatnya.
Esoknya mereka memulai rencana mereka. Akim tentu terkejut tapi juga senang dengan kedatangan mereka. Pekerjaannya menjadi cepat selesai dan ia bisa berkumpul dengan teman sebayanya. Tapi orang tua Akim yang tidak percaya dengan ketulusan mereka, tetap melarang Akim bergaul dengan mereka.
Akhir tahun pun tiba. Seperti biasa di akhir tahun, selalu diadakan pesta besar untuk menyambut tahun baru. Kedua orang tua Akim pun turut diundang untuk datang ke pesta yang diadakan di desa yang jauhnya dua hari berjalan kaki. Akim ingin sekali ikut, tapi orang tuanya memberinya banyak sekali pekerjaan supaya ia tidak bisa datang.
Pada hari perayaan, ketujuh gadis itu datang ke rumah Akim untuk mengajaknya pergi ke pesta.
“Sayang sekali aku tidak bisa ikut,” kata Akim sedih. “Lihatlah! Aku harus mengisi semua tempayan ini, membersihkan dinding dan mengepel lantai. Setelah itu aku harus membersihkan semua ranting di halaman dan membereskan rumah. Jadi aku tidak akan sempat pergi ke pesta.”
Ketujuh gadis itu segera mengambil alih pekerjaan Akim dan dalam beberapa saat saja semuanya beres.
“Nah sekarang kau bisa ikut dengan kami,” kata mereka.
Maka Akim pun dengan senang hati pergi dengan mereka.
Sekitar setengah perjalanan menuju desa tempat diselenggarakannya pesta, ada sebuah sungai kecil yang harus disebrangi dengan menggunakan rakit. Dan di sungai itu tinggallah dewa sungai yang sangat berkuasa dan kejam. Siapapun yang menyebrangi sungai itu dua kali atau bolak-balik, maka saat penyebrangan keduanya ia harus melemparkan sesajen berupa makanan untuk sang dewa sungai. Jika tidak, maka dewa Sungai akan menariknya ke dalam air dan menawannya di dalam istananya di dasar sungai. Ketujuh gadis itu tentu saja tahu betul karena mereka sering bepergian ke banyak tempat. Tetapi Akim yang selalu tinggal di rumah, tidak tahu menahu mengenai hal itu.
Mereka menyebrangi sungai tanpa kesulitan. Seekor burung kecil yang terpesona dengan kecantikan Akim, berkicau riang di atas sebuah ranting, membuat ketujuh gadis itu bertambah berang. Mereka meneruskan perjalanan, dan setelah perjalanan yang melelahkan, tibalah mereka di tempat pesta berlangsung.
Meskipun ketujuh gadis itu memakai baju dan perhiasan terbaiknya, namun Akimlah yang menjadi pusat perhatian di pesta itu. Semua pemuda berebut untuk mengajaknya berdansa. Dan tentu saja hal ini membuat ketujuh gadis ini semakin murka.
Akhirnya orang tua Akim mengetahui kehadiran Akim di pesta itu. Mereka marah dan menyuruh Akim untuk segera pulang. Ketika Akim menceritakan hal itu kepada ketujuh gadis itu, mereka berkata “Baiklah, kami akan mengantarmu pulang. Tapi sebelumnya kami harus makan dulu. Jadi, tunggulah sebentar lagi.”
Tanpa sepengetahuan Akim, ketujuh gadis itu masing-masing menyembunyikan sedikit makanan di kantung mereka. Sementara Akim yang tidak tahu menahu, meninggalkan pesta itu tanpa membawa sepotong makanan pun.
Ketika tiba di tepi sungai, ketujuh gadis itu berjongkok, meminta ijin kepada dewa Sungai lau melemparkan makanan yang dibawanya. Akim terkejut, ia memohon kepada mereka untuk membagi sedikit makanannya, namun mereka menolak.
Benar saja, ketika rakit yang mereka tumpangi tiba di tengah sungai, dewa sungai menarik Akim ke dasar sungai. Ketujuh gadis itu pulang dengan hati puas, karena telah berhasil menjalankan rencananya.

Orang tua Akim yang tiba esok harinya, terkejut mendapati rumah mereka masih terkunci dan anak mereka hilang entah kemana. Ketujuh gadis yang mereka tanyai mengaku Akim telah pulang dengan selamat dan setelah itu mereka belum bertemu lagi dengannya.
Dengan putus asa, orang tua Akim bertanya pada tukang rakit yang menyebrangkan mereka. Darinya ia tahu bahwa Akim telah ditawan oleh dewa Sungai. Burung di pinggir sungai itu juga ikut memberi kesaksian mengenai kekejaman ketujuh gadis yang tidak mau memberi sedikit makanan mereka kepada Akim.
“Oh, celakalah anakku,” kata ayah Akim dengan sedih.
“Jangan khawatir! Aku tahu caranya membujuk dewa Sungai,” kata tukang rakit.
“Bagaimana caranya?” tanya ayah Akim.
“Besok, bawalah seekor sapi, sekeranjang telur dan segulung kain putih untuk ditukar dengan anakmu. Dewa sungai akan melemparkan anakmu sebanyak 7 kali. Tapi jika kau gagal menangkapnya pada lemparan yang ke tujuh, maka gadis itu akan hilang selamanya,” jelasnya.
Esoknya orang tua Akim membawa persyaratan yang diminta dan melemparkannya ke tengah sungai dan memohon agar anak mereka dikembalikan. Tiba-tiba dari dalam sungai, terlontarlah tubuh Akim yang langsung ditangkap oleh ayahnya. Maka mereka pun pulang dengan bahagia.
Ayah Akim yang masih mendendam kepada ketujuh gadis itu, merencanakan untuk membalas dendam. Dia menggali sebuah lubang yang dalam di salah satu sudut rumahnya. Lubang itu kemudian diisinya dengan daun-daun kering. Di atasnya ia gelar sebuah kasur tipis. Kemudian ia mengundang warga desa untuk berpesta merayakan kembalinya Akim.
Ketujuh gadis itu awalnya tidak mau datang karena takut, namun ayah Akim sengaja datang ke rumah mereka masing-masing dan memohon mereka untuk datang.
Ayah Akim pura-pura menyambut mereka dengan ramah dan mepersilahkan mereka untuk duduk di kasur yang telah disediakan. Begitu mereka duduk di atasnya, mereka pun jatuh ke dalam lubang.
“Inilah balasan bagi kalian,” kata ayah Akim sambil melemparkan sebatang obor ke dalam lubang yang langsung membakar daun-daun kering di dalamnya.
Ketujuh gadis itu berteriak minta ampun, namun api dengan cepat melahap tubuh mereka sehingga tewas.
Sebenarnya dendam tidaklah baik. Balas dendam hanya akan melahirkan dendam yang lain. Lebih asyik memaafkan, dengan begitu orang yang pernah berbuat salah akan menjadi segan dan hati kita pun tenang.
(SELESAI)

Pangeran Yang Membalas Budi

Suatu ketika raja Kungla tersesat di hutan. Sudah berjam-jam ia mencoba mencari jalan keluar namun belum juga berhasil. Tiba-tiba di hadapannya muncul seorang kakek tua.
“Apa yang kau cari di tengah hutan begini kawan? Hutan ini penuh dengan binatang buas yang sangat berbahaya,” katanya.
“Aku tersesat dan sedang mencari jalan keluarnya,” jawab Raja.
“Aku dengan senang hati akan membantumu kawan,” kata orang tua itu. “Dengan syarat kau harus memberikan apapun yang kau lihat pertama kali saat kau masuk rumahmu.”
“Yang biasa menyambutku adalah anjingku. Dia adalah anjing pemburu yang sangat hebat. Tapi untuk apa aku memberikannya padamu? Aku akan keluar dari hutan ini cepat atau lambat,” kata Raja.
Orang tua tersebut menghilang dari hadapan Raja.
Raja meneruskan pencariannya selama tiga hari tiga malam hingga semua persediaan makanan dan minumannya habis tak bersisa, namun jalan keluar yang dicarinya belum juga ditemukannya. Pada hari keempat orang tua yang sama kembali muncul di hadapan raja.
“Sekarang apakah kau mau memberikan apapun yang pertama kau lihat saat memasuki rumahmu? Kau tinggal menjawab ya dan aku akan mengantarmu keluar dari hutan ini,” katanya.
Raja masih tetap yakin ia dapat menemukan jalan keluar dari hutan tanpa bantuan Orang tua itu, maka dengan tegas ia kembali menolaknya.
Akhirnya setelah berhari-hari tanpa makan dan minum Raja yang kelelahan dan kelaparan terkapar di tanah.
“Inilah akhir hidupku,” pikirnya.
Tiba-tiba orang tua yang tidak lain adalah jin jahat, muncul kembali di hadapan Raja.
“Jangan bodoh kawan! Begitu berartinyakah anjingmu sehingga kau rela menukarnya dengan nyawamu? Katakan ya dan kau akan pulang dengan selamat!” kata orang tua tersebut.
Raja tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawaran tersebut.
“Hidupku jauh lebih berarti daripada anjingku,” pikir raja. “Aku memiliki kerajaan dan rakyatku membutuhkanku. Baiklah, bawa aku pulang!”
Sekejap kemudian raja telah berada di tepi hutan di dekat istananya. Ia segera memacu kudanya menuju istana. Namun yang dilihatnya pertama kali bukanlah anjingnya melainkan putranya yang masih kecil. Putranya dengan senyum lebar merentangkan kedua tangannya menyambutnya. Raja sangat ketakutan. Ia berteriak kepada dayang untuk membawa pergi putranya.
Setelah kemarahannya menyusut, raja segera memerintahkan seorang kepercayaannya untuk menukar putranya dengan seorang anak perempuan miskin. Pangeran segera dibawa pergi ke luar istana dan tinggal di sebuah gubuk sementara gadis kecil miskin itu ditidurkan di ranjang bayi pangeran yang mewah.

Setahun berlalu. Orang tua itu datang menemui raja untuk menagih hadiahnya. Tanpa curiga ia membawa gadis kecil yang ia sangka sebagai putri Raja itu pergi. Raja sangat gembira atas keberhasilan rencananya.
Singkat cerita, pangeran kini tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah. Karena Raja yakin bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan lagi, ia segera memerintahkan untuk membawa pulang pangeran ke istana. Pangeran, yang segera mengetahui bahwa hidupnya telah ditukar dengan seorang gadis yang tak berdosa, merasa marah. Ia memutuskan untuk mencari gadis itu sampai ketemu dan menyelamatkannya.
Suatu hari dengan mengenakan pakaian rakyat jelata, pangeran mengendarai kudanya menuju hutan tempat ayahnya dulu tersesat. Ia membawa sekarung biji kacang di pundaknya. Di tengah hutan ia berpura-pura tersesat dan meratapi nasibnya dengan suara keras.
“Oh malang nian nasibku! Tempat apakah ini dan kenapa tidak ada yang bisa membantuku keluar dari sini? Adakah yang bersedia menolongku?” teriak pangeran.
Dan muncullah di hadapannya, Orang tua berjanggut putih. Orang tua itu menyapa Pangeran dengan ramah, “aku hapal tempat ini dengan baik dan aku bersedia menolongmu asal kau membayarku dengan pantas.”
“Apa yang bisa diberikan oleh orang miskin sepertiku?” tanya pangeran. “Aku tidak punya uang sama sekali, bahkan baju yang kupakai ini adalah milik majikanku.”
Orang tua tua itu memandang kantung kacang di pundak pangeran.
“Kau tidak kelihatan miskin di mataku. Bukankah itu hartamu yang kau gendong di punggungmu?” tanyanya.
“Oh ini hanya sekarung kacang,” kata pangeran. “Bibiku satu-satunya baru saja meninggal kemarin. Ia tidak meninggalkan apapun di rumahnya. Sedangkan kebiasaan di desa itu kita harus memberi suguhan kacang panggang bagi mereka yang menemani jenazah sebelum dikuburkan. Maka aku meminjam sekarung kacang kepada majikanku dan berjanji akan bekerja lembur untuk menebusnya. Lalu aku memutuskan untuk melalui hutan ini, dengan harapan bisa tiba lebih cepat, namun hasilnya aku malah tersesat.”
“Jadi kau hanya seorang diri di dunia ini?” tanya Orang tua itu sambil memamerkan giginya yang buruk, mungkin maksudnya ingin tersenyum tapi jadi lebih mirip menyeringai. “Maukah kau bekerja padaku? Aku sedang mencari seorang pekerja dan aku menyukaimu.”
“Aku tidak keberatan jika kita sepakat dengan pembayarannya. Aku sudah cukup berpengalaman dalam bekerja. Dan bagiku tidak ada bedanya degan siapa aku bekerja. Nah berapa kau akan membayarku?” tanya Pangeran.
“Kau akan mendapatkan makanan segar setiap hari, dan daging dua kali seminggu. Jika aku menyuruhmu pergi ke ladang, kau boleh membawa ikan dan mentega sebagai pelengkap roti. Kau akan memperoleh pakaian yang kau butuhkan dan lebih dari itu tanahku sangat luas hingga kau bisa tinggal dengan leluasa,” kata Orang tua.
“Setuju!” teriak pangeran.
Orang tua itu tampak begitu senang mendengar jawaban pangeran sehingga ia menari-nari dengan penuh semangat.
Mereka berdua memulai perjalanannya. Si Orang tua yang menjadi penunjuk jalan berjalan di depan dengan langkah cepat. Saat malam, mereka tidur di bawah pohon pear yang rimbun lalu kembali meneruskan perjalanan saat pagi tiba. Sorenya mereka sampai di depan sebuah batu besar. Orang tua itu menghentikan langkahnya. Setelah yakin bahwa tidak ada yang memperhatikan mereka, ia bersiul dan menghentakan kakinya ke tanah tiga kali. Batu besar itu bergeser ke samping. Ternyata batu itu merupakan pintu rahaa ke sebuah tempat di bawah tanah.
“Ikuti aku,” teriaknya sambil menarik tangan pangeran.
Kegelapan menyergap mereka. Pangeran tidak bisa melihat apa-apa tapi tampaknya jalan yang mereka tempuh semakin lama semakin jauh dari permukaan bumi. Kini mereka tiba di sebuah ruangan yang terang. Tapi sinar itu pasti bukan dari matahari atau bulan karena tidak ada satupun yang tampak di cakrawala bahkan sepertinya langit pun tak ada. Hanya arak-arakan awan yang aneh melintas lambat di atas kepala mereka. Pohon, rerumputan, binatang, air dan tanahnya tampak berbeda dari biasanya. Tapi yang paling aneh adalah keheningan yang menyelimuti tempat itu. Bahkan langkah kaki mereka pun tak terdengar. Burung-burung yang bertenggeran di dahan-dahan pohon mengangguk-anggukan kepalanya seolah-olah sedang bersiul, anjing mebuka mulutnya seakan-akan menyalaki mereka, namun tak ada suara yang terdengar. Air tejun, daun-daun yang tertiup angin bergerak tanpa suara. Ketika pangeran mencoba berbicara, suaranya tersangkut di tenggorokan. Keheningan itu membuat bulu kuduk pangeran meremang.
Akhirnya, di kejauhan mulai terdengar suara-suara. Sepertinya sebentar lagi mereka akan keluar dari tempat seram itu. Suara ringkikan kawanan kuda dan gemericik air menyapa mereka.
“Hmmmmmm…aku sudah mendengar suara orang memasak, artinya mereka sudah menunggu kita,” kata Orang tua.
Pangeran memasang telinganya tapi yang ia dengar sepertinya adalah bunyi ratusan gergaji.
“Itu suara dengkur nenekku,” kata Orang tua.
Mereka melanjutkan perjalanan melewati sebuah gunung. Dan di bawah gunung itu tampaklah perkebunan milik si Orang tua. Ada banyak sekali bangunan di sana sehingga suasananya mirip sebuah perkampungan kecil.
Akhirnya mereka tiba di pintu gerbang. Orang tua itu menunjuk kandang anjing kosong di hadapan mereka.
“Masuklah ke dalam kandang itu! Diamlah di situ sementara aku akan berbicara dengan nenekku. Ia biasanya sangat rewel jika ada orang asing datang ke rumahnya,” katanya.
Pangeran merangkak masuk ke dalam kandang tersebut dengan gemetar. Ia mulai menyesali keputusannya.
Beberapa saat kemudian, Orang tua itu kembali.
“Kamu harus mentaati peraturan di rumah ini. Sekali saja kau melanggar, aku tidak segan-segan menghukummu!” katanya.
“Dengarkan dan lakukan semua perintahku! Di rumah ini kau dilarang bersuara kecuali saat kutanya!” tambahnya.
Pangeran mengikuti Orang tua itu masuk ke dalam rumah. Lalu dilihatnya seorang gadis bermata gelap di tengah ruangan itu.
“kalau yang ia sebut nenek itu cantik seperti ini wajahnya, aku tidak keberatan menikahi seluruh keluarganya,” pikir pangeran.
Gadis itu tidak mengatakan apapun saat mereka masuk. Ia sibuk mempersiapkan hidangan untuk makan malam. Lalu setelah siap, ia segera duduk di samping perapian dan mulai merajut. Tidak sedikit pun ia melirik Pangeran.
Orang tua itu segera melahap hidangan di atas meja tanpa mengajak gadis itu ataupun Pangeran padahal makanan itu cukup banyak untuk dimakan selusin orang. Orang tua itu bahkan tidak menunggu atau memanggil nenek yang diceritakannya itu.
“Oke, sekarang kalian berdua bisa menghabiskan sisa makanan ini. Tapi jangan lupa! Sisakan tulangnya buat anjing-anjingku dan cepat bersihkan semuanya setelah selesai!” katanya begitu ia selesai mengunyah.
Pangeran menggernyit. Ia tidak suka harus makan sisa-sisa makanan orang lain. Namun ia senang bisa duduk berdua bersama gadis bermata gelap itu yang diam-diam mulai disukainya. Mereka makan dalam diam, Gadis itu tidak mau membuka mulutnya kecuali untuk menyuap makanannya. Ketika Pangeran berniat menyapanya, gadis itu memasang tampang seolah-olah memintanya menutup mulut.
Sementara Orang tua itu berleha-leha di depan perapian. Dan setelah mereka selesai makan, ia memanggil Pangeran.
“Aku memberimu waktu dua hari untuk beristirahat. Lusa, temui aku. Aku biasanya memberikan tugas kerja di sore hari supaya esoknya ketika aku bangun semua sudah mengerjakan tugasnya masing-masing. Sekarang pergilah tidur. Gadis itu akan menunjukkan kamarmu!” katanya.
Pangeran membuka mulutnya untuk menanyakan sesuatu tetapi Orang tua itu segera membentaknya, “Tutup mulutmu budak! Coba saja melanggar aturanku! Aku akan membuatmu menyesal datang kemari. Sekarang, Pergi!”
Gadis itu menarik Pangeran untuk segera meninggalkan tempat itu. Pangeran hendak mengajukan keberatan namun ia melihat gadis itu menitikkan air mata. Tidak ada pilihan lain selain membiarkan gadis itu membimbingnya menuju tempat ia tidur malam itu.
“Gadis ini pasti bukan putrinya karena ia memiliki hati yang baik. Mungkinkah ia gadis yang diberikan ayahku sebagai penggantiku?” pikir Pangeran.
Malamnya Pangeran tidur dengan gelisah. Ia bermimpi buruk. Monster-monster aneh berdatangan hendak membunuhnya. Namun setiap kali ia nyaris mati, gadis itu selalu datang menyelamatkannya.

Esoknya Pangeran bangun pagi-pagi sekali. Dilihatnya gadis itu telah sibuk bekerja. Sebisa mungkin ia mencoba meringankan pekerjaannya. Ia mengangkat air, membelah kayu, memperbaiki kandang-kandang, menyiangi rumput, hingga menyiapkan perapian. Seharian ia bekerja keras dan seharian itu pula ia tidak bertemu dengan Orang tua yang membawanya.
Setelah makan malam, Pangeran berkeliling untuk melihat-lihat seluruh perkebunan. Anehnya si Orang tua maupun Neneknya tidak ditemukannya dimana-mana. Di istal ada seekor kuda putih dan seekor sapi hitam berkepala putih. Di gudang makanan, puluhan ayam, bebek dan angsa ribut bersuara. Dan masih banyak lagi bangunan-bangunan yang belum ia ketahui fungsinya.
Sore berikutnya ia datang menemui Orang tua untuk menerima tugasnya.
“Tugasmu tidak sulit,” katanya. “Besok kau harus memotong rumput dan berikan untuk makanan kuda putihku selama sehari. Lalu bersihkan kandangnya hingga bersih. Ingat kalau nanti aku temukan tempat makan kudaku kosong atau masih ada kotoran di kandang, hukumannya adalah nyawamu!”
Pangeran mengangguk.
“Mudah sekali,” pikirnya.
Malamnya, si gadis menyelinap ke kamar Pangeran dan menanyakan tugas apa yang harus dilakukan Pangeran.
“Oh, kasihan sekali kau!” katanya setelah mendengar jawaban Pangeran. “Kau tidak akan sanggup melakukannya. Kuda putih itu tidak lain adalah Nenek si pemilik rumah ini. Ia sangat rakus. Bahkan jika ada 20 orang yang bertugas memotong rumput tidak akan sanggup membuatnya kenyang. Dan untuk membersihkan kandangnya diperlukan paling sedikit 10 orang pekerja.
Nah dengarkan dan lakukan apa yang akan kukatakan! Besok saat kau memberi makan kuda itu, bawalah sebatang ranting willow dan ikatkan ke dalam berangus. Pastikan kuda itu melihat apa yang kau lakukan. Lalu bawalah juga sebatang kayu yang cukup besar. Jika kuda itu bertanya untuk apa barang-barang tersebut, katakan seperti ini: ….”
Gadis itu membisikkan kata-kata yang harus diucapkan Pangeran lalu segera menyelinap pergi.
Esoknya Pangeran mengambil sabit dan mulai memotong rumput. Setelah terkumpul cukup banyak, ia segera membawanya ke kandang kuda putih. Sedetik kemudian, rumput itu telah ludes dimakannya dan kandang kuda itu telah penuh dengan kotoran. Pangeran teringat dengan nasihat si gadis. Maka ketika ia kembali membawa setumpuk rumput, ia juga membawa sebatang ranting willow dan sebatang kayu besar. Di depan si kuda, Pangeran mengikatkan ranting pohon wilow ke sebuah berangus.
“Untuk apa berangus itu, budak!” tanya kuda.
“Oh tidak apa-apa! Berangus ini Cuma kugunakan kalau aku melihat kau makan terlalu banyak!” kata Pangeran.
Kemudian setelah selesai membersihkan kandang, Pangeran mulai memotong batang kayu yang dibawanya dan membuat sebuah sumbat besar.
“Untuk apa sumbat itu, budak?” tanya kuda.
“Oh tidak apa-apa. Sumbat ini akan kugunakan jika kulihat kau mengeluarkan kotoran terlalu banyak!” kata Pangeran.
Kuda menghela nafas panjang tanda mengerti. Maka ketika Orang tua memeriksa kandang sore harinya. Ia melihat bahwa rumput-rumput masih menggunung di hadapan kuda dan kandang bersih tanpa satu kotoran pun yang tercecer di lantai.
“Siapa yang telah memberimu ide tentang semua ini?” tanyanya marah.
“Selain otak bodohku, tidak ada seorang pun yang memberiku nasihat,” jawab Pangeran.
Orang tua menggernyit dengan marah namun terpaksa mengakui hasil pekerjaan Pangeran.
Sorenya ia kembali memanggil Pangeran.
“Aku tidak punya tugas yang sesuai untukmu. Tapi karena besok si gadis akan sibuk di rumah, maka kau harus membantunya memerah sapi hitamku. Sebaiknya kau memerah semua air susunya karena jika ada setetes saja air susu yang tersisa, maka nyawamu taruhannya!” katanya.
Seperti kemarin, gadis itu kembali menyelinap ke kamar Pangeran dan menanyakan tugasnya.
“Alangkah kasihannya engkau!” katanya. “Kau tidak akan bisa menghabiskan air susunya meskipun kau memerahnya dari pagi hingga malam, karena air susunya mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Orang tua itu pasti ingin menyingkirkanmu. Tapi jangan khawatir, aku akan menolongmu. Besok saat kau pergi ke kandang, bawalah seember batu bara dan sepasang penjepit besi. Di depan sapi itu, nyalakan batu baranya lalu celupkan penjepit besinya ke dalamnya. Kalau sapi itu bertanya apa yang sedang kau lakukan, katakana ini…”
Gadis itu membisikkan sesuatu di telinga Pangeran lalu bergegas pergi.
Paginya, begitu matahari memperlihatkan sinarnya, Pangeran segera berangkat ke kandang sambil membawa seember batu bara yang membara dan sepasang penjepit besi. Saat sapi melihat jepitan besi yang membara di hadapannya, ia bertanya, “Apa yang kau lakukan budak?”
“Tidak apa-apa! Hanya menghangatkan penjepit ini. Kata orang, ada beberapa sapi yang nakal dan tidak mau membiarkan dirinya diperah hingga tuntas. Nah, aku punya tips istimewa. Dengan menggunakan penjepit panas ini saat memerahnya, aku akan mendapatkan semua air susunya,” jawab pangeran.
Sapi itu memandang Pangeran lalu mendesah tanda ia mengerti. Maka dengan mudah Pangeran memerah sapi tersebut dan saat Orang tua datang memeriksa hasil kerjanya, ia tidak menemukan setetes air susupun yang tersisa.
“Siapa yang telah memberimu ide tentang semua ini?” tanyanya marah.
“Selain otak bodohku, tidak ada seorang pun yang memberiku nasihat,” jawab Pangeran.
Orang tua itu pergi meninggalkan Pangeran dengan marah.
Saat sore tiba ia kembali memanggil Pangeran.
“Aku masih punya beberapa tumpuk jerami kering yang tertinggal di ladang. Yang kau harus lakukan hanyalah menaikkannya ke dalam pedati dan memindahkannya ke dalam gudang sebelum hujan turun. Tapi ingat, jangan sampai ada sehelai jerami yang tertinggal di ladang atau kau akan kehilangan hidupmu,” katanya.
Seperti biasa, gadis itu kembali menemui pangeran untuk menanyakan tugasnya.
“Tugasku kali ini sangatlah gampang,” kata Pangeran sambil tertawa. “Yang harus kulakukan hanyalah menaikan tumpukkan jerami ke dalam pedati dan membawanya ke dalam gudang.”
"Oh kasihan sekali kau pemuda malang,” katan si gadis. “Kau tidak akan bisa menyelesaikannya bahkan meski seluruh penduduk kampung datang membantumu. Setiap kau ambil setumpuk jerami, maka setumpuk jerami akan muncul lagi di bawahnya. Nah dengarkan apa yang harus kau lakukan! Bangunlah sebelum subuh dan bawalah kuda putih itu. Selain itu bawa juga segulung tali yang kuat. Ikatlah tumpukan jerami itu dan ikatkan ujungnya ke kuda putih. Lalu naiklah ke tumpukkan jerami tersebut dan mulailah menghitung dengan keras. Jika kuda itu bertanya apa yang sedang kau lakukan. Katakan ini…”
Gadis itu membisikkannya di telinga Pangeran dan bergegas menyelinap pergi.
Esoknya, pangeran mengambil segulung tali yang paling kuat. Menggiring kuda putih menuju ladang. Setumpuk besar jerami teronggok di tengah ladang. Ia melakukan apa yang diperintahkan si gadis, lalu dipanjatnya tumpukkan jerami itu dan mulai menghitung keras-keras.
“Apa yang kau hitung budak?” tanya kuda.
“Tidak apa-apa,” kata Pangeran. “Aku hanya menghitung jumlah serigala yang sedang menuju kemari. Tapi jumlahnya terlalu banyak, aku tidak bisa menghitung semuanya.”
Mendengar kata serigala, kuda putih itu menghentakan badannya dan mulai berlari secepat angin, membawa serta semua tumpukan jerami. Orang tua itu sangat geram saat melihat semua jerami telah berhasil dipindahkan.
“Siapa yang telah memberimu ide tentang semua ini?” tanyanya marah.
“Selain otak bodohku, tidak ada seorang pun yang memberiku nasihat,” jawab Pangeran.
Orang tua itu mendengus dan menyumpah dengan marah.

Sorenya saat Pangeran menemuinya untuk menerima tugas selanjutnya, ia berkata “Besok kau harus membawa sapiku untuk dimandikan. Awas kalau sampai ia kabur. Nyawamu yang akan menggantinya.”
“Aku pernah melihat gembala yang memandikan seluruh ternaknya. Jadi pasti mudah sekali memandikan seekor sapi saja,” pikir Pangeran.

Tetapi gadis yang mendengar jawaban Pangeran mengenai tugasnya berkata, “Ah sungguh malang nasibmu! Kau tidak akan bisa mengendalikannya. Sapi itu selalu berlari kesana kemari dan kau tidak akan mampu menanganinya. Tapi tenanglah, aku akan membisikan apa yang harus kau lakukan.”
Maka esoknya sebelum ia mengeluarkan sapi itu dari kandang untuk dimandikan, pangeran mengikat si sapi ke tubuhnya dengan tali sutra, kemudian baru menuntunnya ke tempat pemandian. Ia bisa mengerjakan tugasnya dengan mudah. Hal ini membuat Orang tua semakin geram.
“Siapa yang telah memberimu ide tentang semua ini?” tanyanya marah.
“Selain otak bodohku, tidak ada seorang pun yang memberiku nasihat,” jawab Pangeran.
Orang tua itu menggerutu dan pergi.
Saat Pangeran menemuinya lagi sore harinya, ia memberinya sekantung biji gandum dan berkata:
“Besok pagi kau bebas dan boleh beristirahat sepanjang hari. Tapi malamnya kau harus bekerja keras. Sebarkan biji-biji gandum ini. Ia akan tumbuh saat itu juga dan siap untuk dipanen. Segera panenlah. Pisahkan bijinya dengan batangnya lalu rendamlah hingga berkecambah. Kemudian giling dan buatlah bir darinya. Ingat! Bir itu harus sudah bisa kuminum saat aku bangun pagi nanti. Kalau tidak aku akan mengambil nyawamu!”
Pangeran termenung di kamarnya dan mulai menangis, “Nanti malam adalah malam terakhir bagiku. Kali ini dia pasti akan membunuhku. Aku yakin tidak ada manusia yang bisa melakukan pekerjaan mustahil ini.”
Si gadis yang mendengar tangisan Pangeran segera menghampirinya. Dengan sedih Pangeran menceritakan tugas yang harus dilakukannya. Di luar dugaan gadis itu malah tertawa.
“Tenanglah! Kau akan baik-baik saja asal kau melakukan apa yang akan kukatakan. Bawalah kunci ini. Ini adalah kunci gudang makanan nomor 3, tempat Orang tua itu menahan hantu-hantu jahat di dalamnya. Taburkan biji-biji gandum itu dan ulangi perintah Orang tua itu dengan suara keras. Lalu katakana ‘Jika kamu gagal melaksanakan tugasmu maka kalian semua akan mati.”
Pangeran melakukan semua yang dikatakan si gadis lalu ia pergi tidur. Esoknya sepoci bir telah selesai dibuat. Ia membawanya ke hadapan Orang tua yang segera mendesis marah melihat Pangeran berhasil melakukan tugasnya.
“Aku tidak percaya kau mendapatkan ide ini sendiri. Pasti ada orang lain yang membantumu. Baiklah besok kau tidak perlu bekerjaDatanglah ke kamarku besok pagi dengan si Gadis. Aku tahu kalian saling menyukai, maka aku berencana untuk menikahkanmu,” katanya.
“Oh celaka!” kata si gadis setelah Pangeran memberitahukan percakapannya dengan Orang tua. “Dia sudah tahu bahwa aku membantumu dan ia ingin membunuh kita berdua. Kita harus pergi dari sini malam ini juga. Pangeran, pergilah ke kandang sapi. Tebas leher sapi itu dengan sekali tebas lalu belahlah kepalanya. Di dalamnya ada sebuah bola kristal. Bawalah kemari!”
Pangeran bergegas menuju kandang sapid an melakukan tugasnya. Sebutir bola kristal yang bersinar terang keluar dari kepala sapi setelah Pangeran membelahnya. Ia segera membungkusnya dan menyerahkannya pada si gadis yang sudah menunggunya di pintu gerbang.
“Ayo kita harus lari secepatnya,” kata si Gadis. Dengan diterangi sinar yang keluar dari bola kristal tersebut mereka segera melarikan diri.
Orang tua yang bangun keesokan harinya terkejut mengetahui Pangeran dan si Gadis telah melaikan diri. Ia segera memerintahkan hantu-hantu peliharaannya untuk mengejar dan membawa mereka kembali.
Sementara itu Gadis yang melihat bayangan hitam memenuhi langit di kejauhan, tahu bahwa mereka sedang dikejar. Ia berkata kepada bola kristal:


“Dengarlah wahai bola ajaib yang bersinar
Tolonglah kami dan jangan kau tunda
Ubahlah aku menjadi danau 
Dan anak muda ini menjadi ikan!”

Sekejap kemudian mereka telah berubah menajdi danau dengan seekor ikan berenang di dalamnya.
Hantu-hantu itu melayang-layang di atas mereka namun karena tidak menemukan buruannya, mereka berbalik kembali.
“Apakah kau melihat sesuatu yang ganjil di perjalanan?” tanya Orang tua.
“Tidak ada,” kata para hantu. “Kami hanya melihat danau dengan seekor ikan di dalamnya.”
“Itulah mereka!” teriak Orang tua dengan marah. “Pergi dan minum air danau itu hingga kering lalu bawa ikannya kemari!”
Pangeran dan gadis masih terus berlari sekuat tenaga. Tiba-tiba gadis yang merasakan kehadiran hantu-hantu itu di kejauhan segera berkata kepada bola kristalnya,


“Dengarlah wahai bola ajaib yang bersinar
Tolonglah kami dan jangan kau tunda
Ubahlah aku menjadi rumpun bunga 
Dan anak muda ini menjadi sekuntum mawar!”

Hantu-hantu jahat itu terbang melintasi mereka tanpa suara namun tidak menghiraukan rumpun bunga dengan sekuntum mawar di bawahnya. Mereka kembali kepada tuannya dengan tangan kosong.
“Apakah kau melihat sesuatu yang ganjil di perjalanan?” tanya Orang tua.
“Tidak ada,” kata para hantu. “Kami hanya melihat rumpun bunga dengan sekuntum mawar di tepi hutan.”
“Itulah mereka!” teriak Orang tua dengan marah. “Pergi dan hancurkan rumpunnya lalu bawa mawarnya ke hadapanku!”
Si Gadis segera menghentikan larinya ketika merasakan kehadiran hantu-hantu itu di kejauhan. Ia berkata kepada bola kristalnya:


“Dengarlah wahai bola ajaib yang bersinar
Tolonglah kami dan jangan kau tunda
Ubahlah aku menjadi angina semilir 
Dan anak muda ini menjadi seekor lalat kecil!”

Hantu-hantu itu tidak menemukan rumpun bunga dan mawar tunggalnya dan segera kembali kepada tuannya. Sementara itu Pangeran dan Gadis kembali ke bentuk semula.
“Sekarang kita harus lari secepat mungkin karena Orang tua itu pasti akan mengejar kita dan ia bisa mengenali kita meski dalam wujud apapun,” kata Gadis.
Mereka berlari semakin cepat hingga akhirnya mereka sampai di undak-undakkan yang arahnya menuju ke permukaan bumi.
“Cepat! Ia ada di belakang kita!” kata Gadis.
Mereka menaiki undak-undakkan dan di ujungnya sebuah batu besar menghalangi jalan masuk. Gadis berkata kepada batu kristalnya:


“Dengarlah wahai bola ajaib yang bersinar
Tolonglah kami dan jangan kau tunda
Bukalah batu besar ini segera
Tunjukkan kami jalan keluar!”

Batu besar itu menggeser ke samping dan di depan mereka adalah hutan tempat Pangeran terakhir kali melihat matahari. Dari kejauhan mereka mendengar suara Orang tua yang berteriak-teriak marah. Si Gadis segera berkata pada batu kristalnya:


“Dengarlah wahai bola ajaib yang bersinar
Tolonglah kami dan jangan kau tunda
Tutuplah batu besar ini selamanya
Jangan biarkan siapapun membukanya.”

Batu besar itu kembali menutup diiringi jeritan keras Orang tua yang hampir sampai di permukaan. Pangeran dan Gadis menghembuskan nafas lega. Mereka segera meninggalkan tempat itu. Pangeran membawa Gadis itu ke istananya dan beberapa waktu kemudian Pangeran pun menikah dengan Gadis. Merka hidup bahagia hingga akhir hayatnya.
(SELESAI)

Putri Bisu (Silent Princess)

Zaman dahulu kala ada seorang Raja yang memiliki seorang Pangeran. Shahzada, demikian nama pangeran tersebut, memiliki sebuah bola yang terbuat dari emas yang selalu ia mainkan kapan saja.
Suatu hari saat pangeran sedang duduk di pondok peristirahatannya di halaman istana, lewatlah seorang nenek yang hendak mengambil air dari mata air yang terletak di depan gerbang istana. Timbul ide iseng di pikiran Shahzada. Dilemparnya guci nenek tua tadi dengan bola emasnya. Guci itu pun pecah berkeping-keping. Tanpa berkata sepatah pun nenek itu mengambil guci lainnya. Namun guci ini pun pecah karena lemparan bola Shahzada. Nenek tua itu gemetar menahan marah. Tapi karena segan dengan sang Raja maka ia hanya diam dan pergi ke took terdekat untuk mengutang guci baru. Tapi lagi-lagi Shahzada melempar guci itu dengan bolanya hingga pecah. Kini nenek itu benar-benar murka. Dia mengangkat wajahnya ke arah Shahzada.
“Camkan kutukanku ini Pangeran! Aku harap kau akan jatuh cinta kepada Putri bisu!” kutuknya.
Pangeran Shahzada tidak mengerti maksud nenek tua tersebut, tapi kata-katanya terus mengganggu pikirannya. Hal itu memperngaruhi kesehatannya, sehingga Shahzada pun jatuh sakit. Puluhan, dokter, tabib dan dukun telah mencoba menobatinya, namun kesehatannya tak kunjung pulih. Akhirnya suatu malam Raja mendekati putra tunggalnya.
“Anakku, penyakitmu pasti bukan penyakit biasa. Katakan padaku! Apakah akhir-akhir ini ada peristiwa aneh yang menimpamu?” tanya Raja.
Shahzada menceritakan kelakuannya saat memecahkan 3 guci seorang nenek dan kutukan yang dilontarkannya. Lalu Shahzada meminta izin ayahnya untuk pergi mencari Putri Bisu, karena menurutnya hanya dialah yang bisa menyembuhkannya. Dengan berat hati Raja mengijinkan putra kesayangannya pergi dengan ditemani seorang pengawal kepercayaannya.
Singkat cerita, Shahzada dan pengawalnya telah mengembara selama enam bulan. Mereka berjalan siang dan malam dan hanya tidur beberapa saat saja setiap malamnya. Kini mereka tiba di sebuah puncak gunung yang tanah dan bebatuannya bersinar seperti cahaya matahari. Dengan keheranan mereka bertanya pada seorang kakek yang kebetulan lewat.
“Itu karena Putri bisu,” kata si Kakek. “Ia memakai 7 lapis kerudung yang menutupi wajahnya. Tapi sinar kecantikannya tetap memancar dan terpantul di gunung ini.”
“Dimanakah sang putri berada?” tanya Shahzada.
“Jika ka uterus berjalan lurus selama enam bulan lagi, kau akan tiba di istananya,” kata Kakek. “Tapi perlu kuingatkan anak muda! Putri bisu hanyalah julukan. Karena sang Putri sebenarnya hanya tidak mau berbicara. Banyak sudah pemuda yang mencoba membuatnyai bicara tapi tidak berhasil. Malang bagi mereka, karena kematianlah yang harus mereka terima.”
Shahzada tidak gentar mendengar berita tersebut. Ia tetap bertekad untuk menemui sang putri Bisu.
Beberapa waktu kemudian mereka tiba di puncak gunung lainnya. Gunung ini pun sangat aneh karena semua tanah dan bebatuannya berwarna merah darah. Sebuah desa tampak terhampar di kaki gunung tersebut.
“Aku sangat lelah,” kata Shahzada. “Mari kita istirahat dulu di desa di bawah sana. Sekalian kita beli perbekalan.”
Mereka pun masuk ke sebuah warung makan. Pemiliknya menyambut mereka dengan hangat. Shahzada menanyakan kenapa gunung yang baru saja mereka turuni berwarna merah darah.
“Oh itu karena Putri Bisu. Meskipun ia memakai 7 lapis kerudung yang menutupi wajahnya, namun warna bibirnya tetap terpancar di gunung tersebut,” kata pemilik warung. “Tapi anak muda, sudah banyak pemuda yang mencoba membuat sang Putri berbicara tapi semuanya tidak berhasil. Dan kematian adalah hukuman bagi mereka yang gagal.”
“Aku tidak takut,” kata Shahzada. “Katakanlah, berapa jauh lagi istana sang Putri?”
“Tiga bulan perjalanan lagi kau akan sampai di istananya,” kata pemilik warung.
Setelah perjalanan yang sangat melelahkan, pangeran Shahzada dan pengawalnya melihat sebuah gunung lagi. Di puncaknya berdirilah istana yang sangat megah. Istana Putri Bisu.
Istana Putri bisu jika dilihat dari dekat ternyata sangat mengerikan karena dindingnya dibangun dari tulang belulang manusia.
“Kita harus memiliki rencana yang matang untuk bisa membuat sang Putri bicara, atau tulang belulang kita juga akan menjadi bagian dari dinding istana ini,” kata Shahzada. “Mari kita cari penginapan terlebih dulu untuk berpikir!”
Esoknya Shahzada dan pengawalnya pergi berjalan-jalan untuk mencari ide. Di sebuah pasar ia melihat seekor burung bulbul yang cantik. Shahzada segera membelinya dan membawanya ke kamarnya. Suatu ketika saat Shahzada sedang melamun sendirian, ia mendengar seseorang menyapanya.
“Apa yang kau pikirkan wahai Pangeran?”
Shahzada terkejut karena tidak ada orang lain di kamarnya. Ia kemudian menyadari bahwa burung bulbulnya yang berbicara.
“Subhanalloh, ini pasti mukjizat Alloh,” pikir Shahzada.
Ia menceritakan perjalanannya untuk menemui putri Bisu dan kesulitannya menemukan cara untuk membuat sang Putri bicara.
“Jangan khawatir Pangeran, aku akan membantumu. Sang putri memakai 7 lapis kerudung. Tidak ada seorang pemuda pun yang pernah melihat wajahnya, demikian pula sang Putri tidak pernah bisa melihat pemuda yang menemuinya,” kata Bulbul. “Besok bawalah aku ke istana. Dan jika kau telah berada di kamar sang Putri, taruhlah aku di bawah tiang lampu. Lalu sapalah sang Putri. Ia pasti tidak akan menjawabmu. Nah, katakan bahwa karena sang Putri tidak au menjawab maka kau akan berbicara dengan tiang lampu saja. Dan aku akan menjawabnya.”
Maka Shahzada, Bulbul dan pengawalnya pergi menemui ayah putri Bisu di istananya. Ia meminta izin untuk mencoba membuat sang putri berbicara. Shahzada dan Bulbul kemudian diantar ke kamar sang Putri.
“Selamat sore Putri,” kata Shahzada.
Putri Bisu tentu saja tidak menjawab.
“Baiklah karena kau tidak berkenan menjawab, maka aku akan berbicara dengan tiang lampu saja. Mungkin ia lebih punya perasaan daripada anda,” kata Pangeran.
“Apa kabar?” tanya Pangeran kepada tiang lampu.
“Cukup baik. Setelah bertahun-tahun akhirnya ada seseorang yang mau berbicara denganku,” kata Bulbul seolah-olah tiang lampu yang menjawab. “Alloh mengirimmu ke sini dan membuatku bahagia. Maukah kau mendengar ceritaku?”
“Tentu!” kata Shahzada.
“Alkisah ada seorang Shah yang memiliki seorang putri. Tiga orang pemuda telah mengajukan lamaran untuk si gadis kepada Shah. Shah lalu berkata kepada ketiga pemuda tersebut: ‘Siapapun yang memiliki keahlian yang tidak biasa maka ialah yang berhak menikahi putriku.’ Pemuda-pemuda itu lalu pergi untuk mencari guru. Mereka pergi kea rah yang berbeda. Namun sebelumnya mereka berjanji untuk saling bertemu lagi di sebuah mata air setelah sekian bulan. Pemuda pertama belajar berlari cepat. Jika ia berlari, perjalanan 6 bulan bisa ditempuhnya dalam waktu setengah jam saja. Pemuda kedua belajar cara menghilang. Dan pemuda ketiga belajar meracik obat.
Ketiganya kembali dalam waktu yang hampir bersamaan. Pemuda yang bisa menghilang mengatakan bahwa putri Shah sedang sakit keras dan mungkin akan meninggal 2 jam lagi. Pemuda ketiga segera menyiapkan ramuan dan pemuda pertama secepat kilat membawanya kepada si gadis. Ramuan itu sangat manjur. Si gadis tidak jadi meninggal dan Shah segera memanggil ketiga pemuda tersebut.
Nah Pangeran, menurutmu pemuda mana yang pantas mendapatkan si gadis. Menurutku pemuda yang bisa menghilang.”
“Tidak! Menurutku pemuda yang meracik obatnya,” kata Shahzada.
Mereka pun berdebat seru dan saling mempertahankan pendapatnya.
Putri Bisu berkata dalam hatinya, “tidak ada yang ingat dengan jasa pemuda yang telah mengantarkan obatnya.”
Akhirnya karena tidak sabar mendengar perdebatan mereka, Putri berteriak: “Dasar bodoh! Aku akan memberikan gadis itu kepada si pembawa obat. Tanpa dia gadis itu pasti sudah mati!”
Raja segera diberi tahu bahwa Putri Bisu telah mau berbicara. Tapi Putri dengan marah berkata bahwa ia telah ditipu dan ia hanya mau mengaku kalah jika Shahzada bisa membuatnya berbicara sebanyak tiga kali. Karena geram, putri pun menghancurkan tiang lampu di kamarnya.
Sore berikutnya, Shahzada dan Bulbul kembali menemui sang putri di kamarnya. Kali ini Shahzada meletakan sangkar Bulbul di dekat salah satu dinding.
“Selamat sore Putri,” sapa Shahzada.
Putri tidak menjawab sepatah kata pun.
“Baiklah. Karena kau tidak mau menjawab, mungkin lebih baik jika aku mengobrol dengan dinding saja. Apa kabarmu dinding?” kata Shahzada.
“Sangat baik,” jawab Bulbul yang pura-pura menjadi dinding. “Aku senang kau mengajakku bicara. Bagaimana kalau aku menghiburmu dengan sebuah cerita?”
“Dengan senang hati,” kata Shahzada.
“Di sebuah kota tinggalah seorang wanita yang dicintai oleh 3 orang pria sekaligus. Ketiga pria itu adalah: Baldji anak si pembuat madu, Jagdji anak si pembuat lemak, dan Tiredji anak si penyamak kulit. Mereka sering mengunjungi si wanita, namun tidak pernah saling bertemu karena mereka selalu berkunjung pada waktu yang berbeda.
Suatu hari, saat si wanita sedang menyisir rambutnya, ia melihat sehelai uban di kepalanya, ‘celaka! Aku sudah mulai tua. Aku harus segera memutuskan dengan siapa aku akan menikah,’ kata si wanita.

Kemudian ia mengundang ketiga teman prianya untuk datang pada jam yang berbeda. Yang pertama datang adalah Jadgji dan ia menemukan bahwa wanita pujaannya sedang berurai air mata. Ia bertanya kenapa dan si wanita menjawab, ‘ Ayahku telah meninggal dan aku telah menguburkannya di kebun belakang, tapi arwahnya selalu menghantuiku. Jika kau mencintaiku, maukah kau berpura-pura menjadi hantu. Pakailah kain sprei ini dan berbaringlah selam 3 jam di kuburan. Maka ia tidak akan menghantuiku lagi.’
Wanita itu menunjuk sebuah lubang kubur yang telah sengaja ia buat dan Jadgji tanpa ragu-ragu memakai kain sprei itu untuk menutupi tubuhnya dan berbaring di dalam lubang kubur tersebut.
Lalu datanglah Baldji yang juga menemukan wanita itu sedang menangis. Si wanita mengulangi ceritanya tentang kematian ayahnya, lalu memberi Baldji sebuah batu besar; ‘Jika hantu itu datang, pukullah dengan batu ini,’ katanya.
Terakhir datanglah Tiredji. Dia juga bertanya kenapa ia menangis. ‘Bagaimana aku tidak sedih,’ kata si wanita. ‘Ayahku telah meninggal dan telah aku kuburkan di kebun belakang. Tapi ternyata ia punya musuh seorang penyihir dan ia bermaksud mengambil mayat ayahku. Lihat, ia bahkan sudah membongkar kuburannya. Jika kau bisa mengambil mayat ayahku maka aku akan selamat tapi jika tidak…’ Si wanita kembali menangis.
Tiredji segera pergi ke kebun belakang untuk mengambil mayat yang tidak lain adalah Jadgji. Tapi Baldji mengira ada dua hantu yang datang dan memukul Jadgji serta Tiredji. Sementara Jadgji mengira hantu ayah si wanitalah yang memukulnya. Ia melemparkan sprei yang ia pakai dan menubruk Baldji. Mereka bertiga terkejut begitu menyadari keadaan yang sebenarnya dan bersama-sama menuntut penjelasan dari si wanita.
Nah Pangeran, menurutmu siapa yang berhak menjadi suami si wanita? Menurutku Tiredji!” kata Bulbul.
Menurut Shahzada, Baldji lebih berhak karena berada dalam posisi yang lebih berbahaya. Mereka berdebat seru, saling mempertahankan pendapatnya. Putri Bisu yang juga mendengarkan cerita Bulbul sangat kecewa karena mereka melupakan peran Jadgji dan ia segera berteriak mengemukakan pendapatnya.
Raja gembira mendengar putrinya berbicara. “Tinggal satu kali anak muda,” katanya pada Shahzada. Sementara sang Putri sangat kesal karena telah dua kali keceplosan. Maka untuk melampiaskan amarahnya ia segera memerintahkan untuk menghancurkan dinding tempat Bulbul bersandar semalam.
Hari ketiga dan merupakan hari penentuan, Shahzada dan Bulbul kembali datang ke kamar sang Putri. Kali ini Shahzada meletakkan Bulbul di belakang pintu kamar Putri. Seperti biasa Putri menolak membuka mulutnya dan kali ini bahkan ia memunggungi Shahzada. Maka Shahzada berpura-pura mengajak bicara pintu. Seperti hari-hari kemarin, Bulbul menceritakan sebuah cerita.
“Alkisah ada seorang Tukang kayu, seorang Penjahit, dan seorang Sakti yang berkelana bersama. Di sebuah kota, mereka memutuskan untuk menyewa sebuah took dan memulai usaha bersama. Suatu malam saat yang lainnya sedang tidur, Tukang kayu terbangun. Karena tidak bisa tidur lagi, ia iseng memahat sebongkah kayu menjadi sebuah patung wanita yang sangat cantik. Saat patungnya selesai, ia kembali mengantuk dan segera pergi tidur. Tidak berapa lama si Penjahit terbangun. Melihat ada sebuah patung wanita cantik di tengah kamar mereka, ia tergoda untuk membuatkan sehelai pakaian yang sangat indah. Setelah selesai, ia memakaikannya dan kembali tidur. Menjelang pagi si Orang sakti bangun. Ia begitu terpesona melihat patung wanita cantik berpakaian indah tersebut. Maka ia memohon kepada Alloh SWT untuk menghidupkan patung tersebut. Alloh SWT mengabulkan permintaannya dan patung itu menjelma menjadi seorang wanita yang mempesona. Ketika Tukang kayu dan Penjahit bangun serta melihat wanita cantik yang berasal dari patung tersebut, mereka berebut karena masing-masing merasa berhak memilikinya.
Nah Pangeran, siapa menurutmu yang paling berhak?. Menurutku Tukang kayu,” kata Bulbul.
“Tidak bisa, menurutku si Penjahit,” kata Shahzada.
Mereka kembali berdebat seru. Putri bisu bangkit dari tempat duduknya dan dengan marah ia berteriak; “Kalian semua bodoh! Orang sakti itulah yang paling berhak! Wanita itu berhutang nyawa padanya!”
Dan artinya Shahzada berhak menikahi sang Putri karena ia telah tiga kali memecahkan kebisuannya. Maka pesta pernikahan akbar pun digelar selama 40 hari 40 malam. Shahzada secara khusus memanggil nenek yang ia pecahkan kendinya untuk tinggal di istana. Mereka semua hidup bahagia.
(SELESAI)

Fujiwara Hidesato Sang Juragan Beras

Duluuuu sekali di Jepang hiduplah seorang ksatria yang gagah berani. Orang-orang memanggilnya Tawara Toda atau Juragan Beras. Nama aslinya adalah Fujiwara Hidesato. Penduduk memiliki alas an kuat kenapa ia diberi gelar Juragan Beras dan berikut ini adalah kisahnya.
Suatu hari Hidesato pergi berkelana. Sebagai seorang ksatria, ia tidak betah duduk berlama-lama tanpa melakukan apapun. Maka dengan membawa dua pedangnya dan busur raksasanya, ia berangkat mencari petualangan.
Setelah berjalan cukup jauh ia sampai di sebuah jembatan yang menghubungkan kedua sisi Danau Biwa yang cantik. Ia baru saja melewati undakan menaiki jembatan ketika ia melihat bahwa di tengah jembatan melintang seekor naga yang sangat besar. Tubuhnya lebih besar dari batang pohon beringin dan menutupi seluruh badan jembatan. Kepalanya bersandar di sisi jembatan di seberang Danau Biwa sementara buntutnya melingkar di depan hidung Hidesato. Monster itu tampak sedang tidur. Kepulan asap tkeluar dari lubang hidungnya seperti asap yang keluar dari cerobong.
Awalnya Hidesato ampir mengurungkan niatnya untuk menyebrangi jembatan. Namun jiwa ksatriamya menuntutnya untuk meneruskan perjalanan. Maka disingkirkannya rasa takutnya. Ia mulai berjalan di atas tubuh si Naga. Cring…cring suara sepatu besinya beradu dengan sisik naga yang keras.
Ia baru saja turun dari jembatan ketika ia mendengar seseorang memanggilnya. Ia terkejut saat menengok ternyata naga raksasa itu telah hilang. Di tengah jembatan itu kini berdiri seorang laki-laki. Ia membungkuk dalam-dalam kea rah Hidesato. Di kepalanya sebuah mahkota berbentuk naga bertengger. Baju yang dipakainya pun bercorak sisik naga. Mungkinkah ia penjelmaan naga raksasa tadi? Hidesato segera mendekatinya.
“Apa kau yang memanggilku?” tanya Hidesato.
“Benar tuan,” kata orang asing itu. “Aku punya satu permohonan. Maukah Tuan mengabulkannya?”
“Kalau aku bisa, pasti aku lakukan. Tapi siapakah anda?” tanya Hidesato.
“Saya adalah Raja Naga di danau ini. Rumahku ada di dasar danau tepat di bawah jembatan ini,” katanya.
“Apa yang bisa kubantu?” tanya Hidesato.
“Kami sudah tinggal di danau ini selama bertahun-tahun. Kami adalah keluarga besar. Namun beberapa tahun ini kami hidup dalam ketakutan karena raja Kaki seribu yang jahat sudah mengetahui tempat kediaman kami, dan setiap malam ia datang untuk memangsa keluargaku satu persatu. Aku tidak berdaya melawannya. Jika tidak dihentikan, seluruh keluargaku dan bahkan aku sendiri akan jadi mangsanya. Oleh karena itu aku mencoba mencari seorang pemberani yang bisa menolong kami. Aku sengaja menunggu di jembatan ini dengan bentuk seekor naga yang menakutkan dengan harapan ada seseorang yang tidak takut melewatiku. Namun semua orang lari ketakutan begitu melihatku, andalah orang pertama yang berani melangkahi tubuhku. Jadi aku yakin anda adalah orang yang tepat untuk aku mintai pertolongan. Maukah anda membantu kami membunuh raja Kaki seribu itu?” kata raja Naga.
Hidesato merasa kasihan mendengar cerita tersebut dan ia berjanji untuk membantu semampunya.
Karena raja Kaki seribu selalu datang setiap malam untuk mencari mangsanaya, Hidesato memutuskan untuk menunggunya di istana raja Naga.
Hidesato pernah mendengar keindahan istana raja Laut yang luar biasa dimana semua dayang dan prajuritnya adalah ikan-ika laut. Namun istana raja Naga di dasar danau Biwa ini pun sangat mengagumkan. Dinding-dinding istana yang megah terbuat dari batu marmer putih yang berkilau. Ikan-ikan emas yang gemulai, kepiting-kepiting merah dan kerang-kerang perak menyambut kedatangan raja dan dirinya. Sangat mengherankan bagi Hidesato karena meskipun ia berada di dalam air, ia tetap bisa bernafas dan pakaiannya tidak basah sedikit pun.
Hidangan makan malam pun disajikan. Makanannya sangat luar biasa, terdiri dari daun dan bunga lotus. Sumpitnya terbuat dari kayu eboni yang langka. Para penari yang adalah ikan-ikan emas berlenggok dengan gemulai diiringi musik yang dimainkan 10 ekor kepiting merah. Mereka terus menghiburnya hingga tengah malam ketika semua penghuni istana bergegas menyembunyikan diri. Tinggal raja Naga yang menemani Hidesato di balkon istana. Lalu dari kejauhan terdengar bunyi gemuruh seakan-akan suara ribuan tentara sedang berlari mendekat. Ternyata itu adalah langkah kaki raja Kaki seribu yang sedang menuju istana raja Naga. Hidesato melihat sepasang mata bak bola api yang sangat terang bergerak semakin mendekat. Raja Naga berdiri gemetar di samping Hidesato.
“Ka…Kaki seribu! Itu raja Kaki seribu! Ia datang untuk memangsa kami! Kini saatnya kau membunuhnya,” seru raja Naga.
Hidesato mengikuti arah yang ditunjuk raja Naga. Dan memang di belakang sepasang bola api itu, Hidesato melihat tubuh raja Kaki seribu yang sangat panjang dan besar merayapi punggung gunung dan semakin mendekati istana raja Naga.
“Jangan takut! Aku pasti bisa membunuhnya. Tolong ambilkan panah dan busurku!” kata Hidesato.
Raja segera membawakan panah dan busur Hidesato. Ternyata hanya tinggal 3 anak panah yang tersisa. Dengan hati-hati Hidesato mengarahkan busurnya ke arah Kaki seribu dan anak panah pun melesat dengan cepat.
Anak panah itu mengenai tepat di antara dua bola mata raja Kaki seribu. Namun alih-alih menancap di tubuhnya, anak panah itu mental dan terjatuh. Hidesato segera mengambil anak panahnya yang kedua dan membidikkannya. Kali ini pun tepat mengenai tempat yang sama. Dan tidak sedikit pun membuat luka di badannya. Raja Kaki seribu ternyata kebal terhadap senjata. Raja Naga semakin gemetar ketakutan.
Kini anak panah Hidesato hanya tinggal satu buah lagi. Jika ia tidak berhasil kali ini, maka mereka semua akan habis dimangsanya. Tiba-tiba ia ingat bahwa ia pernah mendengar sesorang berkata saliva manusialah yang bisa melumpuhkan Kaki seribu. Tapi ini bukanlah Kaki seribu biasa. Panjangnya saja tujuh kali diameter gunung. Tapi tidak ada salahnya mencoba, pikir Hidesato.
Ia mengambil anak panahnya yang terakhir dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Lalu dengan sangat cepat ia membidik targetnya. Kali ini pun anak panahnya mendarat di tempat yang sama. Namun kali anak panahnya menancap dengan kuat tepat di sasaran. Dan Bum! Tubuh Kaki seribu terhempas ke tanah lalu mati. Para penghuni istana yang diam-diam menonton dengan penuh harap bersorak gembira. Kini mereka terbebas dari terror yang selama ini menghantui mereka.
Pesta pun kembali digelar. Kali ini lebih meriah dari yang sebelumnya. Hidangan terbaik dihidangkan dan minuman yang paling special pun dituangkan. Raja berusaha membujuk Hidesato untuk tinggal di istana sebagai ucapan terima kasihnya. Namun Hidesato dengan ramah menolaknya. Ia teringat akan keluarganya yang ia tinggalkan dan karena tugasnya telah selesai kini ia harus kembali pada mereka.
Dengan berat hati, raja Naga dan keluarganya melepas kepergian Hidesato. Sebagai tanda terima kasih, raja memaksa Hidesato untuk menerima hadiah yang ia berikan. Puluhan prajurit istana Naga diperintahkan untuk membawakan hadiah-hadiah tersebut. Dan karena mereka akan menempuh perjalanan di darat, mereka berubah wujud menjadi manusia dengan hiasan naga di kepala mereka. Hadiah raja Naga terdiri dari: sebuah lonceng tembaga yang sangat besar, sekarung beras, satu gulungan kain sutra, sebuah panic untuk memasak dan sebuah lonceng kecil. Setelah mengucapkan selamat tinggal Hidesato meninggalkan istana diiringi ucapan terima kasih dari seluruh penghuni istana.
Singkatnya Hidesato tiba dengan selamat di rumahnya. Keluarganya yang telah menunggunya dengan cemas, menyambut kedatangannya dengan gembira. Setelah menyerahkan semua hadiah yang dibawanya, prajurit yang membawa hadiah-hadiah tersebut menghilang.
Hadiah-hadiah itu ternyata bukan benda biasa. Semuanya adalah benda-benda ajaib. Hidesato menghadiahkan lonceng besarnya ke kuil untuk dibunyikan setiap jam 12 siang. Suaranya bisa terdengar hingga puluhan desa di sekitarnya.
Kain sutranya tidak pernah habis meskipun sudah ia potong untuk membuat pakaian seluruh keluarganya. Apapun yang istrinya masak di panci ajaib akan menjadi masakan yang lezat meskipun tidak ditambahkan bumbu ke dalamnya. Beras yang dibawanya tidak pernah berkurang sedikit pun meskipun ia dan keluarganya telah menggunakannya berhari-hari. Hidesato pun membaginya kepada tetangga-tetannga yang memerlukannya.
Kebiasaannya membagi-bagikan beras itulah yang membuatnya dijuluki Sang Juragan Beras.
Demikianlah kisah prajurit pemberani dari Jepang yang bernama Hidesato.
(SELESAI)

Kisah Dua Saudara

Adalah seorang raja di Turki yang memiliki seorang putra dan seorang putri. Ketika raja wafat, putranya menggantikan dirinya menaiki tahta. Hingga suatu hari putra raja tersebut menyadari bahwa mereka telah pailit. Harta kekayaan mereka yang dulu berlimpah kini menyusut.
“Adikku mari kita pergi dari istana ini!” kata Putra raja suatu hari. “Kita telah kehilangan harta kita. Dan sebelum orang lain mengetahuinya, kita harus pergi jauh kemana tidak seorang pun mengenal kita. Dengan begitu kita akan terhindar dari rasa malu dan penghinaan.”
Malamnya, saat semua orang sedang terlelap, mereka menyelinap dan bergegas meninggalkan kerajaan. Mereka terus berjalan tak tentu arah melewati padang gersang yang hampir tanpa batas. Panas matahari yang membakar membuat mereka kehausan dan hampir pingsan. Tiba-tiba mereka menemukan genangan air di depan mereka.
“Adikku,” kata Putra raja, “aku tidak sanggup lagi menahan rasa haus ini. Sebaiknya kita minum saja air genangan itu.”
“Tapi kak, bagaimana kita tahu kalau itu adalah air yang bisa diminum,” kata Putri. “Lebih baik kita berjalan lebih jauh sedikit. Siapa tahu kita bisa menemukan kolam atau mata air, dan kita bisa minum di sana!”
“Tidak! Aku tidak sanggup melangkah sebelum rasa hausku hilang,” tolak Putra raja. Putri terpaksa menciduk air genangan itu dan memberikannya pada Putra yang segera meminumnya tanpa sisa. Dan wuzz, Putra raja tiba-tiba berubah menjadi seekor Kijang. Putri menangisi nasib saudaranya. Namun apa daya nasi telah menjadi bubur. Mereka tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan wujud Putra ke bentuk aslinya.
Mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan mereka hingga tiba di sebuah mata air yang sangat luas. Di sana mereka memutuskan untuk beristirahat.
“Adikku. Naiklah ke atas pohon! Aku akan pergi mencari makan,” kata Putra.
Putri memanjat pohon di pinggir mata air tersebut sementara Putra pergi berburu. Tidak berapa lama ia kembali membawa seekor ayam hutan. Lalu Putri memasaknya untuk dimakan mereka berdua. Demikianlah mereka bertahan hidup dari hari ke hari dan minggu ke minggu.
Suatu pagi seperti biasa Putri duduk di atas ranting pohon di pinggir mata air sementara Putra pergi berburu. Kebetulan seorang pekerja dari kerajaan yang menguasai wilayah itu datang untuk memberi minum kuda-kuda Raja. Kuda-kuda itu memang terbiasa minum di mata air karena airnya yang sangat jernih. Namun pagi itu kuda-kuda tersebut melihat bayangan Putri terpantul di permukaan mata air dan membuat kuda-kuda itu ketakutan. Pekerja istana mengira air yang diambilnya untuk memberi minum kuda-kuda itu kotor sehingga mereka menolak untuk meminumnya. Ia segera mengganti air di wadah dengan yang baru. Tapi tetap saja mereka menolaknya. Pekerja itu segera melaporkan kejadian itu kepada Raja.
“Mungkin airnya kotor,” kata Raja.
“Tidak Tuan. Saya sudah menggantinya berkali-kali dengan air yang baru langsung dari mata air, “ jawab Pekerja.
“Kembalilah ke sana dan periksalah di sekitar mata air, mungkin ada sesuatu yang membuatnya takut,” perintah Raja.
Pekerja itu kembali ke mata air. Setelah memeriksa dengan teliti, ia melihat bayangan seorang gadis yang sedang bertengger di ranting pohon terpantul di permukaan mata air. Dengan terkejut ia bergegas melaporkannya kepada Raja. Raja tentu saja penasaran. Ia segera pergi ke mata air untuk melihat sendiri gadis tersebut. Raja terpesona saat melihat kecantikan Putri yang bagaikan sinar bulan.
“Wahai Gadis yang cantik, siapakah anda? Jinkah atau Peri?” seru Raja.
“Aku bukanlah Jin ataupun Peri melainkan adalah manusia biasa,” jawab Putri.
“Sudikah anda untuk turun kemari dan menemuiku,” pinta Raja.
“Ampun Tuan, aku tidak bisa karena aku telah berjanji pada saudaraku,” tolak Putri.
Mula-mula Raja mencoba membujuknya supaya ia mau trun dari atas pohon, namun tidak berhasil. Lama-lama Raja menjadi kesal dan marah. Ia menyuruh pengawalnya untuk merobohkan pohon tersebut. Para pengawal menghunus pedangnya masing-masing dan mulai menebang cabang-cabangnya. Namun ketika pekerjaan mereka hampir selesai, sore pun tiba. Mereka memutuskan untuk meneruskannya esok hari. Ketika para penebang pergi, Putra datang dan heran melihat keadaan pohon yang menjadi gundul. Ia bertanya pada adiknya tentang apa yang telah terjadi. Putri menjelaskan bahwa Raja menyuruhnya turun namun ia menolaknya.
“Kau telah melakukan hal yang benar, adikku. Jangan turun, apapun yang terjadi,” perintah Putra.
Ia kemudian menjilati pohon itu. Ajaib, pohon yang telah kehilangan banyak cabangnya itu kembali menumbuhkan cabangnya lebih lebat dari semula. Para Pemburu terkejut melihat cabang pohon yang tumbuh lebih lebat dari sebelumnya. Namun tanpa mengeluh mereka kembali memotong-motong cabang pohon itu. Sayang sore keburu datang sebelum mereka dapat menumbangkan pohon itu dan memutuskan untuk kembali esok hari. Seperti kemarin, pohon itu kembali bercabang lebih lebat ketika para pemburu itu datang kembali. Dengan putus asa mereka menghadap Raja dan menceritakan semuanya.
Raja mencari cara lain untuk mewujudkan keinginannya. Ia menemui seorang Nenek sihir dan menawarkan sejumlah hadiah seandainya ia dapat membuat si Gadis turun dari pohon.
“Serahkan padaku Tuan!” katanya.
Nenek sihir pergi ke tepi mata air dengan membawa sebuah ketel. Berpura-pura buta ia mengisi ketel yang sengaja ia taruh terbalik sehingga tentu saja airnya tumpah.
“Nenek, anda menaruh ketelnya terbalik! Airnya jadi tumpah nek,” teriak Putri dari atas pohon.
“Oh Nak,” kata Nenek sihir “Dimanakah kamu? Aku tak bisa melihatmu? Bisakah kau membantuku membalikkan ketelnya?” Namun Putri teringat pesan kakanya, maka ia mengurungkan niatnya untuk menolong si Nenek.
Esoknya Nenek sihir itu datang lagi. Ia berjongkok di bawah pohon, menyalakan api dan seolah-olah hendak memasak makanan. Namun bukannya makanan yang ia masukkan ke dalam penggorengan melainkan abu dan batu.
“Nenek buta yang malang, yang kau masukkan itu bukan makanan tapi abu dan batu!” teriak Putri dari atas pohon.
“Aku buta nak!” kata Nenek itu pura-pura marah. “Kalau kau baik hati, turunlah dan Bantu aku!”
Sekali lagi usaha Nenek sihir tidak berhasil karena Putri tetap bertahan untuk tidak turun dari atas pohon.
Pada hari ketiga Nenek sihir kembali datang. Kali ini ia membawa seekor kambing untuk disembelih. Kemudian ia sengaja tidak menyembelih kambing itu dengan mata pisau melainkan dengan gagangnya. Putri yang menyaksikan peristiwa itu, kali ini benar-benar merasa kasihan. Tanpa pikir panjang ia segera turun dari pohon untuk menolong si Nenek. Tapi tiba-tiba hups…Raja yang sedari tadi bersembunyi di semak-semak menangkapnya dan membawanya ke istana. Raja begitu mengagumi kecantikan Putri sehingga ia ingin sekali menikahinya. Namun dengan tegas Putri menolaknya sebelum Raja menemukan saudaranya. Singkatnya para pengawal menemukan Putra yang masih berwujud Kijang dan membawanya ke istana.

Sejak tinggal di istana, Putra dan Putri selalu bersama. Bahkan mereka tidur di kamar yang sama. Ketika akhirnya Raja menikahi Putri, Putra tetap tidur bersama mereka. Setiap kali mereka hendak beristirahat, Putra akan mengelus Putri dengan keningnya sebagai tanda kasih sayangnya.
Waktu berlalu begitu cepat bagi insan yang berbahagia. Namun kebencian juga muncul di hati seorang Gadis pelayan berkulit hitam yang keinginannya untuk mendapatkan Raja tak terwujud. Ia menanti kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya pada Putri yang merebut cintanya.
Di sekitar istana ada sebuah taman yang sangat indah dan di tengahnya ada sebuah kolam yang besar. Di sinilah biasanya Putri menghabiskan waktu senggangnya. Biasanya untuk menikmati minuman segar dari cangkir emasnya. Dan dengan sepatu peraknya ia berjalan-jalan di sekeliling kolam. Suatu sore saat Putri sedang berdiri di pinggir kolam, pelayan itu datang dan mendorong putri hingga terjatuh ke dalam kolam. Di dalam kolam itu ada seekor ikan yang sangat besar. Begitu tubuh Putri tercebur, ikan raksasa itu segera menelannya.
Si pelayan lalu pergi ke kamar Putri dan mengganti baju yang dipakainya dengan pakaian Putri. Tak berapa lama Raja datang dan heran melihat wajah Putri yang begitu berubah.
“Tadi aku jalan-jalan di taman dan matahari begitu menyengat sehingga wajahku terbakar,” katanya berbohong.
Raja yang tidak menaruh curiga mencoba menghiburnya dengan memeluknya. Namun Putra segera mengetahui bahwa Gadis itu bukan saudaranya. Ia mendorongnya sehingga Gadis itu ketakutan. Ia memutuskan untuk menyingkirkan Putra karena dianggapnya berbahaya.
Suatu hari putri berpura-pura sakit. Ia membayar seorang tabib untuk menyatakan bahwa ia hanya bisa sembuh jika ia makan hati seekor kijang. Raja lalu meminta izin untuk menyembelih saudaranya.
“Apa hendak dikata,” desah Gadis itu. “Jika ia tidak mau memberikan hatinya, maka aku akan mati. Lagipula kalau ia mati maka penderitaannya akan berakhir. Ia tidak perlu menjadi seekor Kijang lagi.”
Maka Raja menyuruh para pelayan untuk menyiapkan pisau yang tajam dan air yang mendidih.
Putra yang malang menyadari bahwa ia dalam bahaya. Ia segera berlari ke pinggir kolam dan memanggil-manggil adiknya.

“Oh adikku…
Pisau tajam tlah disiapkan
Air mendidih tlah dituangkan
Cepat tolonglah aku!”

Lalu terdengar suara Putri dari dalam kolam

“Inilah aku di perut ikan
Di tanganku cangkir emasku
Di kakiku Sepatu perakku 
Dan di pangkuanku pangeran tampan”

Raja dan pengawalnya datang dan mendengar suara Putri dari dalam kolam. Segera ia memerintahkan untuk menangkap ikan itu dan membelahnya. Benar saja, di dalamnya Putri duduk memangku seorang bayi. Ternyata ia melahirkan saat berada di dalam perut ikan. Sementara itu Putra tanpa sengaja terkena cipratan darah ikan ketika ikan itu dibelah. Dan lo! Ia pun kembali menjadi manusia. Mereka semua gembira bisa berkumpul kembali.
Raja kemudian memanggil Putri palsu.
“Pilihlah mana yang lebih kau sukai: 40 pedang atau 40 kuda?” tanya Raja.
“Pedang adalah untuk membunuh musuhku. Aku memilih Kuda yang bisa kutunggangi,” jawab Putri palsu.
Pelayan wanita itu akhirnya tewas setelah ke 40 kuda tersebut menyeretnya dan menginjak-injaknya.
Kini Raja, Putri, Putra dan Pangeran kecil kembali hidup damai dan bahagia untuk selamanya.
(SELESAI)

Nyai Anteh Sang Penunggu Bulan

Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan raja yang bijaksana. Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama-sama jelita dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu lagi bernama Anteh. Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni.
“Kau jangan memanggilku Gusti putri kalau sedang berdua denganku,” kata putri. “Bagiku kau tetap adik tercintaku. Tidak perduli satatusmu yang hanya seorang dayang. Ingat sejak bayi kita dibesarkan bersama, maka sampai kapan pun kita akan tetap bersaudara. Awas ya! Kalau lupa lagi kamu akan aku hukum!”
“Baik Gust…..eh kakak!” jawab Nyai Anteh.
“Anteh, sebenarnya aku iri padamu,” kata putri.
“Ah, iri kenapa kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa membuat orang lain iri,” kata Anteh heran.
“Apa kau tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu seorang putri, pasti sudah banyak pangeran yang meminangmu,” ujar putri sambil tersenyum.
“Ha ha ha.. kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti ini dibilang cantik. Yang cantik tuh kak Endah, kemarin saja waktu pangeran dari kerajaan sebrang datang, dia sampai terpesona melihat kakak. Iya kan kak???” jawab Anteh dengan semangat.
“Ah kamu bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju yang cocok untukku. O ya kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya putri.
“Eeee…itu…itu…saya yang jahit sendiri kak.” jawab Anteh.
“Benarkah? Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau begitu lain kali kau harus membuatkan baju untukku lagi ya. Hmmmm…mungkin baju pengantinku?” seru putri.
“Aduh mana berani saya membuat baju untuk pernikahan kakak. Kalau jelek, saya pasti akan dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan.
“Tidak akan gagal! Kemarin baju pesta saja bisa…jadi baju pengantin pun pasti bisa,” kata putri tegas.
Suatu malam ratu memanggil putri Endahwarni dan Nyai Anteh ke kamarnya.
“Endah putriku, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan,” kata ratu.
“Ya ibu,” jawab putri.
“Endah, kau adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan menjadi ratu menggantikan ayahmu memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai ketentuan keraton kau harus memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat menjadi ratu.”
“Maksud ibu, Endah harus segera menikah?” tanya putri.
“ya nak, dan ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat bahwa calon pendamping yang cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak adipati dari kadipaten wetan. Dia pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan tampan. Kau pasti akan bahagia bersamanya,” kata ratu. “Dan kau Anteh, tugasmu adalah menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak terjadi apa-apa padanya.”
“Baik gusti ratu,” jawab Anteh.
Malam itu putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk menemaninya.
“Aku takut sekali Anteh,” kata putri dengan sedih. “Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku?”
“Kakak jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh. “Saya yakin gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat kakak. Dan pemuda mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan kakak. Ah sudahlah, kakak tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.”
Suatu pagi yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati untuk menghias sanggul putri Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga yang bermekaran dan kupu-kupu saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung dengan gembira. Suara Anteh yang merdu terbang tertiup angin melewati tembok istana. Saat itu seorang pemuda tampan sedang melintas di balik tembok taman istana. Dia tepesona mendengar suara yang begitu merdu. Ternyata pemuda itu adalah Anantakusuma. Dia sangat sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi dengan mudah dilompatinya. Dia bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan tampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik. Anantakusuma merasakan dadanya bergetar, “alangkah cantiknya dia, apakah dia putri Endahwarni calon istriku?” batinnya. Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya.
“Siapa tuan?” tanya Anteh.
“Aku Anantakusuma. Apakah kau…..”
Belum sempat Anantakusuma bertanya seseorang memanggil Anteh. “Anteh!!! Cepat!!! Putri memanggilmu!” kata seorang dayang.
“Ya. Saya segera datang. Maaf tuan saya harus pergi,” kata Anteh yang langsung lari meninggalkan Anantakusuma. “Dia ternyata bukan Endahwarni,” pikir Anantakusuma. “Dan aku jatuh cinta padanya. Aku ingin dialah yang jadi istriku.”
Beberapa hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang lain daripada biasanya. Hari ini Adipati wetan akan datang bersama anaknya, Anantakusuma, untuk melamar putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu menjamu tamunya dengan sukacita. Putri Endahwarni juga tampak senang melihat calon suaminya yang sangat gagah dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma yang terlihat tidak semangat. Dia kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya yang akan dinikahinya.
Tibalah saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana lainnya masuk ke ruangan dengan membawa nampan-nampan berisi makanan.
“Silahkan mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh dengan hormat.
“Terima kasih Anteh, silahkan langsung dicicipi,” kata Raja kepada para tamunya.
Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.
Setelah perjamuan selesai dan putri kembali ke kamarnya, Anteh menemui sang putri.
“Bagaimana kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami kakak? Wah ternyata dia sangat tampan ya?” kata Anteh.
Hati putri Endahwarni terasa terbakar mendengar kata-kata Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma memandang Anteh dengan penuh cinta.
“Anteh, mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga tidak mau kau ada di dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata putri Endahwarni.
“A..apa kesalahanku kak? Kenapa kakak tiba-tiba marah begitu?” tanya Anteh kaget.
“Pokoknya aku sebal melihat mukamu!” bentak putri. “Aku tidak mau kau dekat-dekat denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini. Kau harus pergi dari sini hari ini juga!”
“Tapi kenapa kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?” tangis Anteh.
“Ah jangan banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau Anantakusuma tidak mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena dia melihat kau yang lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar Anantakusuma bisa melupakanmu!” kata putri.
“Baiklah kak, aku akan pergi dari sini. Tapi kak, sungguh saya tidak pernah sedikitpun ingin mengkhianati kakak. Tolong sampaikan permohonan maaf dan terima kasih saya pada Gusti Raja dan Ratu.”
Anteh beranjak pergi dari kamar putri Endahwarni menuju kamarnya lalu mulai mengemasi barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia berpesan untuk menjaga putri Endahwarni dengan baik.
Nyai Anteh berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa yang harus dilakukannya di luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke kampung halaman ibunya. Anteh belum pernah pergi kesana, tapi waktu itu beberapa dayang senior pernah menceritakannya. Ketika hari sudah hampir malam, Anteh tiba di kampung tempat ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah berumur menegurnya.
“Maaf nak, apakah anak bukan orang sini?” tanyanya.
“Iya paman, saya baru datang!” kata Anteh ketakutan.
“Oh maaf bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Wajahmu mirip sekali dengan kakakku Dadap,”
“Dadap? Nama ibuku juga Dadap. Apakah kakak paman bekerja di istana sebagai dayang?” tanya Anteh.
“Ya….! Apakah….kau anaknya Dadap?” tanya paman itu.
“Betul paman!” jawab Anteh.
“Oh, kalau begitu kau adalah keponakanku. Aku adalah pamanmu Waru, adik ibumu,” kata paman Waru dengan mata berkaca-kaca.
“Benarkah? Oh paman akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!” kata Anteh dengan gembira.
“Sedang apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?” tanya paman Waru.
“Ceritanya panjang paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk tinggal di rumah paman. Saya tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh.
“Tentu saja nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh tinggal di rumahku. Ayo kita pergi!” kata paman Waru.
Sejak saat itu Anteh tinggal di rumah pamannya di desa. Untuk membantu pamannya, Anteh menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh menjahitkan baju-baju tetangga, lama-lama karena jahitannya yang bagus, orang-orang dari desa yang jauh pun ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh. Sehingga ia dan keluarga pamannya bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit.
Bertahun-tahun telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan memiliki dua orang anak. Suatu hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta kencana dan banyak sekali pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta kencana itu melongokkan kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah putri Endahwarni. Putri Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk Anteh.
“Oh Anteh, sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama ni? Kenapa tidak sekalipun kau menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti hatimu? Maafkan aku Anteh. Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu padahal kau tidak bersalah. Maafkan aku…” tangis putri.
“Gusti…jangan begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membuatmu gusar,” kata Anteh.
“Tidak. Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut denganku kembali ke istana!” pinta putri.
“Tapi putri aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga bekerja sebagai penjahit. Jika saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab Anteh.
“Suami dan anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke istana,” kata putri sambil tertawa. “Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat sebagai penjahit istana. Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!”

Akhirnya Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri Endahwarni telah membuatkan sebuah rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal. Namun Anteh selalu merasa tidak enak setiap bertemu dengan pangeran Anantakusuma, suami putri Endahwarni. Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan gadis impiannya. Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit kembali. Mulanya pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak memperdulikan kehadiran Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora.
Hingga suatu malam pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman istana, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Anteh. Benar saja. Dilihatnya Anteh sedang berada di beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing kesayangannya sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah berumur, namun bagi pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat pertama mereka bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh.
“Anteh!” tegurnya.
Anteh terkejut. Dilihatnya pangeran Antakusuma berdiri di hadapannya.
“Pa..pangeran? kenapa pangeran kemari? Bagaimana kalau ada orang yang melihat?” tanya Anteh ketakutan.
“Aku tidak perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh tahukah kau? Bahwa aku sangat mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga hari ini, aku tetap mencintaimu,” kata pangeran.
“Pangeran, kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah suami putri Endahwarni. Dia adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau menyakitinya, itu sama saja kau menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk Candramawat.
“Aku tidak bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus menjadi milikku Anteh! Kemarilah biarkan aku memelukmu!” kata pangeran sambil berusaha memegang tangan Anteh.
Anteh mundur dengan ketakutan. “Sadarlah pangeran! Kau tidak boleh mengkhianati Gusti putri.”
Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.
Anteh yang ketakutan berusaha melarikan diri. Namun pangeran Anantakusuma tetap mengejarnya.
“Oh Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” doa Anteh, “Berilah hamba kekuatan untuk bisa lepas dari pangeran Anantakusuma. Hamba tahu dia sangat sakti. Karena itu tolonglah Hamba. Jangan biarkan dia menyakiti hamba dan kakak hamba!”
Tiba-tiba Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke atas. Dia mendongak dan dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya. Pangeran Anantakusuma hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang semakin lama semakin tinggi dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang tertutup awan.
Sejak saat itu Nyai Anteh tinggal di bulan, sendirian dan hanya ditemani kucing kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena takut pangeran Anantakusuma akan mengejarnya. Jika rindunya pada keluarganya sudah tak dapat ditahan, dia akan menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi sayang tenunannya tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini jika bulan purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani Candramawat. Begitulah kisah Nyai Anteh sang penunggu bulan.
(SELESAI)

Putri Yang Menjadi Ular

Di tepi sebuah hutan kecil yang hijau, sebuah danau yang berair jernih berkilau disapa mentari pagi. Permukaannya yang tenang beriak kala sepasang kaki yang indah menyibaknya. Sang pemiliknya adalah seorang putri yang sedang duduk di atas batu besar yang menyembul dari dasar danau. Aduhai alangkah cantiknya ia. Bahkan burung-burung pun terpesona memandangnya. Ialah Putri dari kerajaan di sebuah negeri di wilayah Simalungun yang terkenal amat rupawan. Ialah dambaan dari Puluhan Pangeran dan Putra bangsawan. Dan kini seorang Pangeran dari negeri seberang telah datang untuk meminangnya.
Sepasang ikan meloncat di dekat kakinya membuyarkan lamunannya.
“Ah alangkah bahagianya kedua ikan ini. Mereka pastilah sepasang kekasih yang saling mencintai. Sebentar lagi akupun akan sebahagia mereka,” pikir Putri sambil tersenyum kecil.
Beberapa Dayang yang menemani sang Putri, duduk-duduk di tepi danau memperhatikan tingkah sang Putri yang sebentar-bentar tersipu dan tersenyum malu.
“Lihatlah Tuan Putri kita. Oh ia pasti sedang melamunkan rencana pernikahannya dengan Pangeran dari kerajaan tetangga yang katanya sangat tampan. Setelah puluhan Pangeran yang datang, akhirnya Baginda memutuskan menerima lamaran yang satu ini,” kata salah satu Dayang.
“Kenapa? Apa istimewanya Pangeran itu?” tanya Dayang lainnya.
“Entahlah. Bagaimana aku bisa tahu,” kata Dayang pertama.
“Ayolah! Ceritakan apa yang kau ketahui,” desak Dayang lain.
“Aku juga tidak tahu banyak, “ jawab Dayang pertama yang rupanya Dayang kepercayaan Putri. “Tadi pagi Baginda memanggil Putri menghadap. Katanya utusan Pangeran dari kerajaan tetangga datang untuk melamarnya. Kerajaannya sangat besar dan kuat. Sehingga menurut Baginda, jika lamaran itu ia terima, otomatis akan menyatukan kekuatan kedua negeri.”
“Apakah Tuan Putri langsung menerimanya?” tanya Dayang kedua.
“Ya tentu saja. Putri adalah anak yang berbakti. Ia tahu perkawinan ini akan membawa kebaikan untuk seluruh negeri,” jawab Dayang pertama.
“Kalau begitu, sebentar lagi akan ada pesta besar donk! Asyiiiiik.,” seru Dayang-dayang.
“Ah, masih lama. Masih dua bulan lagi. Pestanya memang akan besar-besaran, makanya butuh waktu lama untuk mempersiapkannya,” kata Dayang pertama.
“Ya Tuhan. Semoga Tuan Putri selalu bahagia,” doa semua Dayang.
“Tugas kita sekarang adalah menjaga Tuan Putri supaya tidak ada sesuatu yang akan membatalkan pernikahannya,” kata Dayang pertama disambut anggukan Dayang lainnya.
“Bibi Dayang…!” seru Putri.
Para Dayang segera berlarian menuju Tuan mereka. Mereka membantu Putri membersihkan badan hingga kulitnya semakin tampak menawan. Kemudian mereka mencuci rambutnya yang panjang dan hitam sehingga harum semerbak. Kemudian para Dayang membiarkan Tuan mereka berendam menikmati kesejukan air danau. Memang begitulah kebiasaan Putri, ia tidak pernah cepat-cepat keluar dari air setelah selesai membersihkan badan.
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang menggoyangkan semua pepohonan di pinggir danau. Sebatang ranting yang lumayan besar, patah dan jatuh menimpa wajah Putri tanpa sempat menghindarinya.
“Aaaa…..!” Putri menjerit kesakitan.
Dayang-dayang segera berlarian membantu Putri keluar dari danau. Dari sela jari-jari Putri yang masih menutupi mukanya, mengalir darah segar. Dengan panik mereka berusaha menghentikannya. Tapi alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari ternyata hidung Putri telah hilang sebelah.
“Cepat ambilkan aku cermin!” perintah Putri.
Dengan ketakutan, mereka segera menyerahkan sebuah cermin.
“Tidaakkk…!” tangis Putri pilu. “Oh Tuhan. Mukaku cacat. Bagaimana aku bisa menikah dengan Pangeran jika mukaku sejelek ini. Ia pasti tidak mau melihatku.”
Putri menangis meratapi nasibnya yang malang. Ia begitu ketakutan membayangkan kemarahan Pangeran jika ia tahu mempelainya tak secantik yang ia bayangkan. Mungkin negerinya akan diserang, karena dianggap telah berbohong. Atau hal-hal buruk lainnya. Ia tak kuasa membayangkan kesedihan ayah dan bundanya.
“Tuhan, lebih baik kau hukumlah aku. Hilangkanlah aku dari dunia ini. Aku tidak sanggup bertemu kedua orang tuaku lagi, “ ratap Putri.
Petir menyambar diiringi guntur yang menggelegar begitu Putri mengucapkan doanya. Semua yang ada di situ menjerit ketakutan. Mereka semakin ketakutan ketika melihat badan Putri secara perlahan mulai ditumbuhi sisik seperti ular. Dayang pertama segera berlari ke istana untuk memberitahu Raja dan Ratu.
“Apa? Putriku berubah menjadi ular? Bagaimana bisa?” seru Ratu sambil terisak.
“Ayolah kita segera pergi melihatnya. Mungkin kita masih bisa menolongnya,” kata Raja sambil menarik tangan istrinya. Tabib istana pun tanpa disuruh ikut berlari di belakang Raja.
Sesampainya di danau, Putri sudah tidak tampak lagi. Tinggal para dayang yang masih menangis keras mengerumuni seekor ular besar yang bergelung di atas batu besar.
“Putriku…?” seru Ratu shock.
Ular besar itu menoleh dan menjulurkan lidahnya. Dari kedua matanya mengalir air mata. Pandangannya begitu memilukan seolah-olah hendak mengucapkan maaf dan selamat tinggal.
“Putri. Apa yang terjadi nak?” tangis Raja dan Ratu.
“Cepat tolong dia tabib!” seru Raja.
Namun Ular besar itu menggelengkan kepalanya dan segera meninggalkan mereka menuju hutan. Betapapun kerasnya Raja dan Ratu memanggilnya, Putri yang malang itu tetap menghilang ditelan hutan. Sejak itu Putri tidak pernah kembali. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita untuk selalu mengucapkan doa yang baik dan selalu berpikir tenang. Karena bagaimana seandainya kita terlanjur mengucapkan doa yang buruk dan kemudian dikabulkan? Mengerikan bukan?
(SELESAI)